Indra-Raymond Perbaiki Gugatan Boleh Tak Beragama, Minta MK Khususkan KTP Aceh


Jakarta

Warga bernama Raymond Kamil dan Indra Syahputra yang mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) menyampaikan perbaikan permohonan mereka ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam perbaikan permohonan itu, mereka meminta hal khusus terkait kolom agama pada KTP warga yang berdomisili di Aceh.

Hal itu disampaikan pengacara pemohon, Teguh Sugiharto, dalam sidang perbaikan permohonan perkara 146/PUU-XXII/2024 yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (4/10/2024). Sidang ini dipimpin Arsul Sani selaku ketua panel dengan anggota Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih.

Teguh membacakan perbaikan petitum dalam persidangan. Dia mengatakan perbaikan dilakukan berdasarkan nasihat dari majelis hakim MK.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Tidak ada perubahan para pemohon dan tidak ada penambahan atau pengurangan objek permohonan,” ujarnya.

Dia juga mengatakan pihaknya meniadakan redaksi ‘pemaknaan secara positif dan negatif’ karena dianggap rawan disalahpahami menegasikan sila pertama Pancasila. Dia mengatakan redaksi itu diubah menjadi ‘hak memilih agama dan hak tidak memilih agama’.

Salah satu petitumnya meminta agar MK menghapus ‘agama’ dari KTP sebagaimana diatur dalam UU Adminduk. Namun, pemohon meminta MK menyatakan warga yang berdomisili di Aceh tetap dapat menuliskan ‘Islam’ atau ‘bukan Islam’ di KTP.

“Bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kata ‘agama’ dan ‘kepercayaan’ tidak dihapuskan dan dianggap tidak ada kecuali penduduk yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat mencantumkan keterangan beragama Islam atau bukan Islam,” ujarnya.

Berikut petitumnya:

1. Mengabulkan seluruh Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang terhadap UD 1945 yang diajukan Para Pemohon

2. Menyatakan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing atau tidak memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu atau tidak beribadah dan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan/atau kepercayaannya itu atau tidak memeluk agama dan/atau kepercayaan’

3. Menyatakan Pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diuji dan diputus MK dengan putusan nomor 94/PUU-XIV/2016 dengan amar putusan yang berbunyi menyatakan kata ‘agama’ dalam pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kata ‘agama’ dan ‘kepercayaan’ tidak dihapuskan dan dianggap tidak ada, atau menyatakan Pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kata ‘agama’ dan ‘kepercayaan’ tidak dihapuskan dan dianggap tidak ada kecuali penduduk yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat mencantumkan keterangan beragama Islam atau bukan Islam

4. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, atau menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2019 tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai ‘hanya mengikat penduduk yang memeluk agama dan/atau kepercayaan tertentu dan tidak mengikat penduduk yang tidak memeluk agama dan/atau kepercayaan tertentu’.

5. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) dan pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sebagai pilihan atau kebebasan bagi seluruh orang tua dan peserta didik untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama’, atau menyatakan Pasal 12 ayat (1) dan pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kata ‘pendidikan’ dimaknai hanya dalam perspektif agama tertentu saja tetapi harus dimaknai pendidikan tentang semua agama dan kepercayaan serta adat istiadat yang bersifat sebagai kajian ilmiah akademik

6. Menyatakan Pasal 302 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

7. Memerintahkan pemuatan putusan pada Berita Negara Republik Indonesia

Atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

(haf/imk)

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *