Jakarta –
Upaya China melakukan diplomasi pertahanan di Asia Tenggara diibaratkan seperti pedang bermata dua. Pada satu sisi China seolah-olah ingin mempererat kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pada sisi lain, China tetap bersikukuh mengakui sebagian besar Laut China Selatan (LCS) sebagai miliknya, dan bahkan cenderung bertindak agresif di wilayah tersebut. China juga tetap bersikeras untuk menyatakan kehadirannya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna, yang sejak 2017 dinamakan sebagai Laut Natuna Utara.
Oleh karenanya, dalam menyambut uluran diplomasi pertahanan China, Indonesia diimbau tetap memperhatikan tantangan-tantangan yang ada. Pandangan di atas mengemuka dalam seminar bertajuk “Diplomasi Pertahanan China di Asia Tenggara: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia,” yang diselenggarakan oleh Program Studi Keamanan Maritime, Fakultas Keamanan Nasional (FKN), Universitas Pertahanan Republik Indonesia (UnHan RI), bersama dengan Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Indonesian Maritime Security Initiative (Indomasive) di Jakarta, 31 Oktober 2024.
Seminar yang dipandu oleh ketua FSI Johanes Herlijanto, Ph.D tersebut menghadirkan mantan Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal) Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Budiman Djoko Said, M.M yang juga merupakan Dosen Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan RI dan dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Ristian Atriandi Supriyanto, M.Sc sebagai pembicara utama.
Dalam pernyataan pembukannya, Dekan FKN Unhan RI Mayjen Pujo Widodo menyatakan bahwa diskusi mengenai diplomasi pertahanan China dan Asia Tenggara menjadi sangat penting karena saat ini di Asia Tenggara sedang terjadi persaingan sengit antara China dan Amerika Serikat (AS), yang menganggap China sebagai sebuah kekuatan agresif yang ingin merebut kepulauan Paracel dan Spartly yang mereka anggap sebagai daerah tak bertuan.
Untuk mengatasi hal di atas, Indonesia sebenarnya telah mengusulkan ditetapkannya kode perilaku (Code of Conduct) yang bertujuan menahan China agar tidak mengambil wilayah landas kontinen milik negara-negara Asia Tenggara.
“Indonesia selalu mengimbau agar negara-negara Asia Tenggara bersatu, namun sayangnya pada kenyataannya Asia Tenggara tidak bersatu,” tutur Mayjen Pujo Widodo.
Pujo juga menjelaskan bahwa diplomasi pertahanan pada intinya adalah kerja sama pertahanan yang mencakup menjaga kedaulatan wilayah, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
“Tentara diutus untuk menjaga ketiga hal di atas,” jelasnya.
Adanya persaingan antara China dan kekuatan Barat di bawah pimpinan AS itu diamini oleh Johanes Herlijanto. Menurutnya Indonesia dan Asia Tenggara turut terdampak oleh persaingan kedua kubu tersebut. Ia menyatakan bahwa kondisi negara negara ASEAN semakin terganggu oleh tindakan China yang dalam sepuluh tahun terakhir makin terlihat agresif.
“Baru baru saja, dalam minggu lalu Coast Guard China (CCG) berkali-kali memasuki wilayah juridiksi Indonesia di Natuna, yang puji Tuhan berhasil diusir oleh unsur Bakamla RI,” ujar Johanes.
Dalam pemaparannya, pembicara pertama Laksda TNI (Purn) Budiman Djoko Said menyampaikan bagaimana China menggunakan cara memotong habis secara perlahan-lahan, dan semakin hari berubah menjadi semakin ekspansif.
Menurut beliau, pemimpin China saat ini, Presiden Xi Jinping, menjadikan kekuatan maritim sebagai kepentingan utamanya. Ia berpandangan bahwa kekuatan laut China saat ini menjadi besar sebagai akibat akumulasi kebijakan-kebijakan maritim mereka sejak zaman Deng Xiaoping.
Menurutnya, Indonesia harus mengambil strategi China di atas sebagai pelajaran demi mempertahankan kepentingan maritim Indonesia sendiri.
“Kita harus belajar bagaimana menjadi kekuatan maritim yang besar,” tuturnya.
Beliau juga menyatakan bahwa tanpa kekuatan maritim, diplomasi menjadi tidak bermanfaat.
“Without Maritime Power, jangan coba-coba berdiplomasi,” tuturnya.
Dalam menghadapi tantangan dari berbagai kekuatan luar termasuk China, Budiman berpandangan bahwa Indonesia harus memiliki strategi kuat yang dipimpin oleh seorang pengatur irama yang juga kuat.
“Peran tersebut diharapkan dimainkan oleh Kementerian Pertahanan,” tutur beliau.
Sementara itu Ristian menyatakan bahwa China sebenarnya cenderung menerapkan diplomasi militer ketimbang diplomasi pertahanan.
“Diplomasi militer tersebut tunduk pada keputusan Partai Komunis China (PKC) dan demi kepentingan PKC,” tuturnya.
Namun demikian, menurutnya, Indonesia perlu menyambut dan mengembangkan diplomasi pertahanan dengan China, karena diplomasi tersebut berpotensi membangun komunikasi dan rasa saling percaya antara pejabat Kementerian Pertahanan dan militer kedua negara dan mengurangi potensi gesekan di laut, yang menjadi sumber ketegangan antara Indonesia dan China.
“Selain itu, dengan menjalankan diplomasi pertahanan dengan China, Indonesia sudah membuktikan sikap non-blok Indonesia, yang juga menjalankan diplomasi serupa dengan negara-negara Barat dan sekutunya,” paparnya.
Meski demikian Ristian tidak setuju bila sikap non-blok tersebut diartikan dalam bentuk jumlah dan porsi yang sama antara diplomasi pertahanan dengan Barat dan China.
“Prosentasi diplomasi nya tidak harus sama,” jelas Ristian.
Namun Ristian berpandangan bahwa diplomasi militer Indonesia dengan China juga menghadapi beberapa tantangan. “Pertama, diplomasi pertahanan belum berhasil mencegah sikap agresif China di Natuna. Kedua, ada kekhawatiran diplomasi pertahanan justru dijadikan siasat oleh China untuk mempelajari dan memahami kekuatan kita,” ujar peneliti mitra FSI itu.
Dalam sesi tanggapan, Kolonel Sugeng yang mewakili Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan RI menekankan kembali pentingnya mempertimbangkan bagaimana diplomasi pertahanan bisa menjadi sinyal stabilitas yang mengutamakan dialog dan menegaskan sentralitas serta kedaulatan ASEAN di kawasan, khususnya pada sengketa Laut China Selatan dan sekitar perairan Natuna.
Ia juga mengatakan bahwa kerja sama dengan mitra mana pun, termasuk China, tidak mengurangi komitmen Indonesia terhadap aturan hukum internasional, terutama United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang merupakan pijakan utama dalam penyelesaian konflik maritime di kawasan.
“Dengan demikian kerja sama pertahanan ini diharapkan dapat sejalan dengan kepentingan nasional dan tetap menghormati prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku,” pungkasnya.
(mpr/ega)