Mahkamah Konstitusi (MK) menolak memperluas subjek hukum terkait larangan politik uang dalam Undang-Undang Pemilu. MK menyebut perluasan makna dalam pasal tersebut merupakan kewenangan DPR selaku pembentuk undang-undang.
Sidang putusan atas gugatan yang diajukan oleh Ahmad Sadzali dkk ini digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (16/10/2024). Dalam gugatannya, pemohon meminta MK memperluas makna Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Mereka meminta larangan politik uang tak cuma berlaku bagi pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye, tapi untuk setiap orang. Berikut petitumnya:
Menyatakan Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182) inkonstitusional/bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang Frasa Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye sepanjang tidak dimaknai dengan frasa Setiap Orang
Pertimbangan MK
MK kemudian menjelaskan pertimbangannya terkait permohonan ini. MK menyebut perluasan makna yang dimohonkan pemohon merupakan kewenangan pembentuk UU.
“Hal demikian jelas merupakan permohonan yang masuk dalam kategori politik pemidanaan (criminal policy). Lebih lanjut, terhadap hal demikian Mahkamah dalam beberapa putusannya selalu konsisten dengan pendiriannya, bahwa berkaitan dengan hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang,” ujar MK.
MK juga menilai frasa setiap orang terkait aturan larangan dalam kampanye sudah ada di pasal lain UU Pemilu. MK kembali menyatakan urusan perluasan makna yang menyangkut pemidaan merupakan kewenangan pembentuk UU.
“Apabila masyarakat menganggap bahwa dalam UU 7/2017 masih memiliki kelemahan terutama mengenai subjek hukum/pelaku tindak pidana politik uang dalam pemilu, maka pembentuk undang-undang dapat membuat norma hukum baru dengan mengganti norma hukum lama, yakni dengan memuat rumusan mengenai subjek hukum/pelaku tindak pidana politik uang dalam perubahan Undang-Undang Pemilu mendatang, demi mewujudkan pemilu berkualitas dan berintegritas tanpa dicemari praktik politik uang, untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” ujar MK.
MK pun menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” demikian amar putusan MK yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo.