Badan legislasi (Baleg) DPR RI tengah menggodok penyusunan peraturan DPR tentang pemberian tanda kehormatan kepada anggota DPR di akhir masa keanggotaan. Tanda kehormatan itu diberikan kepada sosok yang dinilai berjasa atas pengabdian dan kesetiannya menggaungkan suara rakyat.
Adapun rancangan peraturan tersebut mulanya disampaikan oleh Kepala Pusat Perancangan UU bidang Polhukam, Lidya Suryani Widayati. Rancangan tersebut dibahas Baleg hari ini yang dipimpin langsung oleh Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya.
“Tanda kehormatan adalah penghargaan yang diberikan oleh pimpinan DPR kepada anggota yang telah berjasa atas kesetiaannya dan pengabdiannya sebagai wakil rakyat yang memperjuangkan aspirasi rakyat untuk mewujudkan tujuan negara demi kepentingan bangsa dan NKRI di akhir periode masa keanggotaan,” ujar Lidya dalam rapat Baleg, Selasa (17/9/2024).
Tanda kehormatan itu terdiri atas piagam penghargaan dan medali bintang. Dijelaskan jika jumlah bintang pada medali disesuaikan dengan periode masa keanggotaan.
Tanda kehormatan ini bersifat penghargaan internal yang tidak bisa disamakan dengan tanda kehormatan sebagaimana diatur dalam UU mengenai gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan. Nantinya, penetapan pemberian tanda kehormatan diusulkan oleh fraksi setelah berkonsultasi dengan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
“Pemberian tanda kehormatan dilaksanakan dengan penyerahan piagam penghargaan dan pengalungan Medali Bintang oleh pimpinan DPR kepada anggota yang mewakili fraksi,” ujarnya.
Anggota Baleg dari Fraksi PAN, Zainuddin Maliki, mengingatkan supaya penghargaan ini diberikan kepada legislator yang memang layak. Ia tak ingin salah sasaran justru penghargaan diberikan bagi anggota yang mungkin hanya masuk sekali dalam satu tahun.
“Penghargaan ini tanda kehormatan ini hanya diberikan kepada mereka yang memang layak menerima kehormatan gitu. Karena saya menilai ada anggota yang menurut saya nggak layak kalau diberi kehormatan karena masyarakat tahu dia nggak pernah masuk, jadi 1 periode 1 tahun masuk sekali, istilahnya teh Desi ada anggota terdapil gitu, di Dapil terus nggak masuk gitu,” ungkapnya.
Pimpinan Baleg ingatkan variabel penentuan
Willy tak ingin penghargaan ini justru dianggap jika anggota parlemen gila hormat. Ia menyebut kategori pemberian harus dilakukan dengan benar supaya publik tak salah paham.
“Yang penting usulan Pak Muzzamil biar kita tidak dianggap gila hormat. Apa namanya medali parlemen gitu. Takutnya gini, ini kan sensitif, jangan gara-gara ini kita habis dimaki-maki, dibully gitu. Jangan,” tutur Willy.
“Tadi Romo sudah ingatkan kita, kita ini sudah banyak kehormatan. Jangan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Jangan. Jadi nggak terhormat gitu,” tambahnya.
Willy menyarankan variabel penerima penghargaan berasal dari rekomendasi dan terbuka. Ia menyebut salah satu variabelnya bisa dilihat dari anggota yang kerap menyuarakan hak rakyat dan terpotret di media.
“Kalau saran saya variabelnya benar-benar ada yang sifatnya rekomendasi, ada yang sifatnya lebih terbuka. Kalau mau nggak sedikit capek, ‘Siapa yang paling sering memberikan statement di media’ itu variabel salah satu, kita bisa kulik lah itu variabelnya apa. Sebenarnya kalau DPR kan variabel utamakan berpihak sebenarnya kan,” ucapnya.
Ia juga membuka peluang penerima penghargaan ini berasal dari tenaga ahli (TA) DPR hingga pegawai yang berdedikasi. Pimpinan Baleg meminta penyusunan rancangan ini diperdalam lagi sebelum ditetapkan.
“Itu kan di belakang orang hebat banyak orang yang lebih hebat gitu kan. Ya nanti kita rumuskan lah, jadi kalau ini bicara Medali Parlemen atau Bintang Senayan atau apapun namanya, kategorinya diperluas tidak hanya anggota tapi juga ada supporting system juga ada,” ungkap Willy.
“Jadi gitu bu Lidya, banyak catatan untuk kemudian kita bisa bahas secara mendalam di Panja,” imbuhnya.