Beberapa hari setelah diterbitkannya Perpres No 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional, Presiden Jokowi mengangkat Dr Dadan Hindayana sebagai Kepala Badan. Langkah cepat ini dimaksudkan agar Badan Gizi Nasional segera bergerak mempersiapkan implementasi program yang menjadi tugasnya pada 2025, terutama pemenuhan gizi anak melalui program makan bergizi gratis.
Bukan hal yang ringan memikul amanah di Badan Gizi Nasional. Dengan anggaran Rp 71 triliun dan target sasaran sekitar 80 juta anak, maka pelaksanaan program makan bergizi gratis akan penuh tantangan dan rintangan di tingkat lapangan.
Saat ini, Kepala Badan harus terlebih dulu menyiapkan jajaran birokrasi dan aparat yang akan duduk mengisi berbagai jabatan di Badan Gizi Nasional mengingat Badan ini merupakan kelembagaan baru yang belum pernah dibentuk oleh pemerintah. Bahkan kantornya juga belum ada.
Namun, dengan acuan Prepres No 83 Tahun 2024 diharapkan persiapan pemilihan dan rekrutmen aparat di Badan Gizi Nasional dapat segera diwujudkan. Apalagi, sejak beberapa bulan lalu berbagai pertemuan telah dilakukan untuk menyiapkan program unggulan Prabowo ini yaitu makan bergizi gratis.
Tantangan Implementasi
Indonesia sebagai negara kepulauan dan terdiri dari 514 kabupaten/kota dengan jangkauan dari Sabang sampai Merauke akan memunculkan tantangan tersendiri dalam mengimplementasikan program Badan Gizi Nasional. Banyak sekolah mulai dari tingkat dasar sampai menengah yang berlokasi di tempat-tempat terpencil dengan transportasi sulit. Aspek logistik dalam penyiapan makan bergizi gratis harus dipertimbangkan dengan sangat matang.
Di beberapa negara maju, tersedia dapur sekolah dan lunch hall yang memudahkan penyelenggaraan makan siang bersama di sekolah. Lain halnya di Indonesia, siswa-siswa kita sudah terbiasa jajan di pinggir jalan di sekitar sekolah. Jajanan yang sebagian di antaranya kurang higienis dan tidak cukup mengandung gizi serta dijual murah telah menjadi keseharian konsumsi siswa di Indonesia.
Makan siang bergizi gratis sudah mempertimbangkan kandungan kalori dan gizi dalam setiap serving yang disajikan, sehingga asupan gizi siswa diharapkan lebih meningkat. Keanekaragaman menu harus mendapat perhatian dari penyelenggara program makan bergizi gratis. Kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan sumber daya alam yang berbeda menyebabkan pola konsumsi pangan yang berbeda.
Di Jawa pangan hewani seperti telur dan daging ayam adalah yang biasa dikonsumsi masyarakat. Di luar Jawa umumnya konsumsi ikan lebih dominan. Pangan pokok nasi telah lazim dikonsumsi oleh sebagian besar rakyat Indonesia, namun kearifan lokal di Indonesia Timur yang masih mengonsumsi sagu (papeda) atau ubi jalar sebaiknya turut dipertimbangkan dalam rancangan menu makan bergizi gratis.
Biaya makan gratis yang sekitar Rp 15.000 per porsi tentu dapat diterapkan di Jawa yang akses pangannya lebih mudah. Lain halnya di Papua atau tempat-tempat tertinggal dan terluar yang memiliki tingkat kemahalan harga komoditas pangan yang berbeda dibandingkan di Jawa. Oleh sebab itu, skenario makan bergizi gratis memang tidak bisa disamakan untuk seluruh wilayah Indonesia.
Pemanfaatan dapur sentral sebagai penyedia makan bergizi gratis di suatu wilayah hanyalah merupakan salah satu skenario yang cocok di beberapa wilayah, tetapi mungkin tidak cocok untuk Indonesia secara keseluruhan. Dapur sentral bisa memasak dan menyediakan makanan secara serentak untuk sekitar 2000 siswa. Kalau setiap sekolah memilik siswa 200-500 siswa, maka dapur sentral dapat menangani makan bergizi gratis untuk 4-10 sekolah.
Karyawan yang menangani dapur sentral bisa berasal dari anggota tim penggerak PKK, penjual jajanan sekolah yang yang dialihfungsikan, atau dari anggota Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG). Kesemuanya harus mendapat pelatihan pengolahan pangan terlebih dahulu karena aspek kandungan gizi dan keamanan pangan tidak bisa terlepas dari makanan yang akan disajikan untuk siswa. Timbulnya keracunan makanan harus dicegah dalam program makanan bergizi gratis.
Antisipasi sampah plastik dari wadah makan bergizi gratis harus diatasi dengan menyiapkan wadah yang siap didaur ulang. Penggunaan tray makanan yang dapat dipakai berulang sehingga tidak boros anggaran harus dipertimbangkan karena program ini bersifat jangka panjang. Anggaran Rp 15.000 per porsi semaksimal mungkin kesemuanya dibelanjakan untuk pangan, bukan untuk wadah plastik.
Mengingat anggaran yang cukup besar pada 2025 yakni Rp 71 triliun untuk program makan bergizi gratis, maka penegak hukum harus dilibatkan sejak awal untuk mengantisipasi penyelewengan yang mungkin terjadi. Badan Gizi Nasional harus menggandeng KPK, Kejaksaan, maupun Polri dalam mengawal program andalan pemerintah baru Prabowo-Gibran.
Antisipasi Hal Buruk
Badan Gizi Nasional akan diisi staf dan pegawai baru yang belum pernah menyelenggarakan pemberian makan bergizi gratis secara kolosal di tingkat nasional. Antisipasi hal-hal buruk di saat implementasi program harus dipikirkan jalan keluarnya. Misalnya, ketidaksesuaian menu yang disodorkan dengan selera siswa, keterlambatan makanan tiba di sekolah, kelangkaan bahan baku makanan, dan ketersediaan air bersih di sekolah yang diperlukan siswa untuk cuci tangan sehabis makan.
Pasal 5 ayat 1 Perpres No 83 tahun 2024 menyebutkan bahwa sasaran pemenuhan gizi mencakup peserta didik, anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui. Oleh karena itu, sinergi Badan Gizi Nasional dengan data jumlah sekolah dan siswa dari tingkat dasar hingga menengah di bawah Kemdikbud harus dilakukan sebaik-baiknya di seluruh pelosok Tanah Air. Demikian pula sekolah-sekolah keagamaan/pesantren yang berada di bawah naungan Kemenag.
Dengan disebutkannya sasaran gizi adalah anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui, maka penguatan posyandu sebagai wadah layanan gizi masyarakat harus mendapat perhatian dari Badan Gizi Nasional. Revitalisasi posyandu harus menjadi prioritas. Persepsi masyarakat bahwa posyandu hanya tempat penimbangan anak harus diluruskan.
Perbaikan gizi dalam bentuk pemberian makanan tambahan (PMT) untuk anak bergizi kurang, penderita gizi buruk, dan stunting harus memperhatikan kualitas makanan yang diberikan dan durasi pemberian makanan tambahan agar anak penderita masalah gizi “naik kelas” menjadi bergizi normal. Makanan tambahan di posyandu jangan lagi hanya secangkir kacang hijau atau sebutir telur
Kader posyandu harus mendapatkan insentif yang layak, sehingga mereka lebih antusias berpartisipasi menuntaskan persoalan gizi di tingkat masyarakat. Kader perlu mendapat pelatihan secara rutin agar pengetahuan gizinya meningkat dan pemahamannya tentang makanan tambahan untuk anak balita menjadi lebih baik. Ketrampilan mengolah makanan untuk anak balita harus diajarkan sehingga anak-anak di posyandu memperoleh hak yang sama dengan peserta didik yang menjadi sasaran makan bergizi gratis.
Sebagai penutup, idealnya implementasi program makan bergizi gratis ini dilakukan secara bertahap di beberapa propinsi pada tahun pertama. Lesson learned pada tahun pertama disempurnakan dan dijadikan pembelajaran tahun berikutnya untuk sasaran yang lebih luas yaitu di level nasional.
Dalam empat bulan mendatang Badan Gizi Nasional harus sudah menyiapkan implementasi program makan bergizi gratis yang akan mulai dilaksanakan pada awal 2025. Oleh karena itu, berbagai skenario implementasi makan bergizi gratis harus diujicobakan dan dinilai kelayakannya untuk diterapkan. Kita tunggu kiprah Badan Gizi Nasional untuk memperbaiki kualitas SDM bangsa Indonesia.