Pernikahan pada usia muda sering diidentifikasi sebagai solusi untuk berbagai masalah sosial dan moral, dengan banyak yang mengklaim bahwa ajaran agama mendukung langkah ini. Namun, realitas menunjukkan bahwa pernikahan dini dapat menghadirkan berbagai masalah dan risiko yang signifikan bagi pasangan muda.
Fenomena nikah muda semakin sering ditemukan dalam masyarakat, dan bahkan banyak kampanye yang mendorong pernikahan dini, terutama di kalangan generasi muda. Salah satu kasus yang menarik perhatian nasional adalah pernikahan Alfin Faiz, anak dari almarhum Ustad Arifin Ilham, dengan Larissa Chou, seorang gadis mualaf pada 2017. Pernikahan yang semula dianggap penuh harapan ini berakhir di meja pengadilan agama; pasangan ini sepakat untuk bercerai dan meninggalkan seorang anak.
Alfin Faiz, yang menikah pada usia 17 tahun, memberikan pandangan bahwa tidak semua pernikahan muda itu baik. Ia menyarankan agar fokus tidak hanya pada pernikahan dini tetapi juga pada cara-cara lain untuk menghindari maksiat, seperti beribadah dengan lebih banyak atau berusaha dengan cara lain. Pendapat ini mencerminkan pandangan yang sering diadopsi oleh masyarakat muslim, yang beranggapan bahwa pernikahan adalah solusi untuk masalah moral dan sosial.
Namun, beberapa pengajian dan kajian di berbagai titik justru mendukung pernikahan muda, bahkan menganggapnya sebagai gerakan sosial keagamaan. Gerakan seperti Indonesia Bebas Pacaran dengan slogan “Pacaran No, Nikah Yes” menjadi contoh dari upaya tersebut.
Agama Dijadikan Pendorong
Masalah ini menjadi sangat serius ketika agama dijadikan pendorong utama untuk pernikahan dini. Infrastruktur keagamaan, seperti majelis taklim dan ceramah agama, sering hanya menjadi pelengkap dalam mendukung pernikahan muda, tanpa mempertimbangkan kesiapan usia dan kematangan para calon pengantin. Banyak yang lupa bahwa usia muda seharusnya dimanfaatkan untuk pendidikan dan pengembangan keterampilan yang penting untuk masa depan.
Selain itu, pasangan muda sering tidak memikirkan aspek perencanaan yang penting, seperti bagaimana membesarkan anak dengan baik. Terdapat risiko bahwa pengasuhan anak tidak optimal karena kurangnya kematangan dalam peran orangtua.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2020, 30% perempuan di bawah usia 30 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang menikah muda. Mahkamah Agung juga mencatat adanya 64.000 permohonan dispensasi nikah pada 2020, angka yang meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Kematangan Agama Diuji
Mengatasi persoalan ini memerlukan pemahaman yang mendalam tentang kematangan beragama. Kematangan beragama berhubungan erat dengan bagaimana agama mempengaruhi penganutnya dalam membuat keputusan penting, seperti pernikahan. Secara kualitatif, agama memiliki pengaruh besar dalam mendorong pernikahan, meskipun ada faktor kultural yang juga berperan.
Kematangan beragama dapat diukur dengan beberapa kriteria, menurut Gordon Willard Allport; pertama, berpengetahuan luas dan introspeksi diri. Individu yang matang secara religius akan didorong untuk menggunakan rasio dan akal dalam membuat keputusan. Proses ini melibatkan pembelajaran yang baik dan literasi keagamaan yang komprehensif, yang membantu dalam memahami dan menghayati nilai-nilai agama secara dinamis.
Kedua, agama sebagai kekuatan motivasi. Seorang penganut agama yang matang menjadikan ajaran agama sebagai landasan motivasi, bahkan ketika menghadapi godaan duniawi dan tantangan. Kematangan agama diuji seberapa konsisten seseorang mempertahankan prinsip agama dalam kehidupannya.
Ketiga, moralitas yang konsisten. Para penganut agama yang matang akan menunjukkan konsistensi dalam menjalankan ajaran agama dan bertanggung jawab dalam mengajarkannya kepada orang lain. Mereka tidak hanya menerima dogma agama tetapi juga menerapkannya secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan mempertimbangkan ketiga kriteria kematangan beragama ini, kita dapat memahami bahwa agama harus memainkan peran penting dalam mengatasi masalah pernikahan dini. Kematangan beragama tidak hanya berfungsi sebagai indikator untuk menghindari pernikahan muda yang tidak diinginkan tetapi juga sebagai landasan dalam membuat keputusan yang lebih bijak dan bertanggung jawab.
Penting untuk mempertimbangkan bagaimana agama dapat berkontribusi dalam meningkatkan kematangan beragama di kalangan penganutnya. Upaya ini melibatkan pendidikan agama yang lebih baik, pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama, dan konsistensi dalam penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, diharapkan pernikahan muda dapat dihindari dan masyarakat dapat mengatasi masalah ini dengan lebih baik.