Satu orang warga negara Indonesia (WNI) dilaporkan tewas dalam kebakaran di hotel berbintang lima di Bangladesh tatkala kerusuhan berujung pada pengunduran diri Perdana Menteri Sheikh Hasina.
setidaknya 18 orang meninggal dunia akibat kebakaran di hotel pada Senin (05/08) pukul 11 malam waktu setempat.
Salah satu korban tewas adalah seorang WNI.
BBC News Indonesia belum bisa memverifikasi penyebab kebakaran.
Namun, Dirjen Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri Indonesia, Judha Nugraha, mengatakan kebakaran disebabkan oleh aksi kerusuhan.
Dia mengonfirmasi WNI meninggal berinisial DU. Adapun hotel itu berlokasi di Jashore, Bangladesh.
“DU meninggal dunia akibat menghirup terlalu banyak asap karena hotel tempat almarhum menginap terbakar di tengah-tengah kerusuhan,” kata Judha dalam keterangannya.
“DU baru saja tiba di Bangladesh tanggal 1 Agustus 2024 untuk kunjungan bisnis,” ujar Judha kepada BBC News Indonesia.
Judha mengatakan Kementerian Luar Negeri Indonesia sudah menghubungi keluarga DU dan akan memfasilitasi repatrasi jenazah bekerja sama dengan perusahaan tempat DU bekerja.
Gelombang demonstrasi di Bangladesh dimulai secara damai pada 1 Juli setelah Pengadilan Tinggi memberlakukan kembali kuota pekerjaan yang mencadangkan sepertiga dari seluruh jabatan pegawai negeri untuk anak-anak pejuang yang berpartisipasi dalam gerakan kemerdekaan pada 1971.
Namun demonstrasi tersebut tiba-tiba berubah menjadi kekerasan, setelah PM Sheikh Hasina melontarkan komentar yang menghina para pengunjuk rasa.
Komentar yang dimaksud adalah ketika Hasina menggambarkan para demonstran sebagai “razakar” sebutan bagi kelompok masyarakat Bangladesh yang dituduh bekerja sama dengan militer Pakistan pada perang tahun 1971.
Bagi sejumlah pemimpin mahasiswa, sebutan razakar dari Rasina ini adalah sebuah bentuk penghinaan.
ReutersMural Perdana Menteri Sheikh Hasina terlihat dirusak oleh pengunjuk rasa saat orang-orang merayakan pengunduran dirinya di Dhaka, Bangladesh, 5 Agustus 2024.
Hasina yang berusia 76 tahun telah memerintah negara Asia Selatan berpenduduk 170 juta jiwa itu dengan tangan besi sejak 2009.
Sebagai putri presiden pendiri Bangladesh, Sheikh Hasina adalah kepala pemerintahan perempuan yang paling lama menjabat di dunia.
Ayahnya dibunuh bersama sebagian besar keluarganya dalam kudeta militer pada 1975. Dalam insiden itu hanya Hasina dan adik perempuannya yang selamat sebab mereka sedang bepergian ke luar negeri pada saat itu.
Setelah tinggal di pengasingan di India, ia kembali ke Bangladesh pada 1981 dan berkoalisi dengan partai politik lain untuk memimpin pemberontakan rakyat demi pembentukan pemerintahan demokrasi.
Hasina pertama kali terpilih berkuasa pada tahun 1996 tetapi kemudian kalah dari Begum Khaleda Zia dari Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) pada 2001.
Dia kembali berkuasa pada 2009 dalam pemilu yang diadakan di bawah pemerintahan sementara.
Masa kekuasaannya diwarnai tuduhan penghilangan paksa, pembunuhan di luar proses hukum, menekan tokoh-tokoh oposisi serta pengkritiknya. Ia membantah tuduhan tersebut, dan pemerintahannya sering menuduh partai-partai oposisi utama memicu protes.
Baca juga:
Dalam beberapa pekan terakhir, Hasina dan partainya Liga Awami menyalahkan lawan politik mereka atas kerusuhan yang melanda negara tersebut. Hampir 300 orang diperkirakan tewas dalam gelombang demonstrasi sejauh ini.
Pada Minggu (04/08) saja, setidaknya 90 orang, termasuk 13 polisi, tewas jumlah korban terbanyak yang terjadi selama aksi protes dalam sejarah Bangladesh baru-baru ini. Sheikh Hasina kemudian mengundurkan diri dan meninggalkan negaranya.
Hasina menumpang helikopter pada Senin (05/08) ke India, kata sejumlah laporan, ketika ribuan pengunjuk rasa menyerbu kediaman resminya di ibu kota, Dhaka.
Bagaimana cerita WNI yang tinggal di Bangladesh?
Getty ImagesDalam beberapa pekan terakhir, Hasina dan partainya Liga Awami menyalahkan lawan politik mereka atas kerusuhan yang melanda negara tersebut.
Elia Wati, ibu rumah tangga berusia 35 tahun yang tinggal di Uttara 16 kilometer dari Dhaka mendengar kabar WNI berinisial DU yang meninggal di Hotel Zabeer di Jashore dari teman-teman sesama WNI di Bangladesh.
Elia menyebut gedung-gedung yang dimiliki petinggi-petinggi Liga Awami banyak yang dijarah dan dibakar para pengunjuk rasa.
“Sekarang pendukung PM [Hasina] dari Awami League [Partai Awami] yang jadi sasaran amarah. Karena semasa berkuasa, mereka semena-mena,” ujar Elia yang sudah 10 tahun tinggal di Bangladesh.
Sementara Dewi Regawati tidak menyangka dirinya harus berhadapan dengan kerusuhan di Bangladesh.
Ibu rumah tangga berusia 38 tahun itu baru tinggal di Tongi, Gazipur selama delapan bulan terakhir. Pada hari Minggu (04/08), Dewi menumpang kendaraan lokal semacam bemo menuju rumah sakit untuk check-up. Bulan lalu, dia baru saja operasi tumor.
“Waktu kejadian lihat ada demo, saya putar arah balik [ke rumah]. Supirnya takut, saya juga takut. Takut kena sasaran peluru,” ujar Dewi saat dihubungi pada Selasa (06/08).
Dewi yang sebelumnya bekerja di Singapura sebagai perawat lansia bertemu suaminya, warga negara Bangladesh, sekitar 13 tahun silam. Keduanya pindah ke Bangladesh pada Desember 2023.
“Saya pun tidak menyangka ada kejadian seperti ini. Dulu saya pertama kali ke Bangladesh tidak apa-apa,” ujar Dewi.
Dewi dan suaminya beragama Hindu. Untuk saat ini, keduanya merasa lebih aman apabila tetap diam di rumah mengingat di warga di wilayah mereka kebanyakan adalah pendukung Perdana Menteri Hasina.
Getty ImagesPara demonstran Bangladesh awalnya memprotes reformasi kuota yang mencadangkan sepertiga dari seluruh jabatan pegawai negeri sipil untuk anak-anak pejuang yang berpartisipasi dalam gerakan kemerdekaan pada 1971.
Seperti diberitakan BBC News, warga minoritas Hindu di Bangladesh khawatir menjadi target kekerasan mengingat kedekatan aliansi Perdana Menteri India Narendra Modi dengan Hasina.
Dewi mengatakan keluarganya akan menunggu selama beberapa hari ke depan dan berharap situasi akan mereda. Dia merasa mundurnya PM Hasina akan menenangkan kondisi saat ini.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan jumlah WNI di Bangladesh mencapai 577 orang.
Namun, menurut Lela Isabella Qyma, 51 tahun, WNI yang menetap di Uttara, angka sebenarnya mungkin lebih banyak mengingat berdasarkan pengalamannya banyak WNI di Bangladesh merupakan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menikah dengan warga setempat kemudian tinggal di pelosok.
“Mereka mungkin tidak terjangkau KBRI,” ujar dia.
Lela tinggal di Uttara sekitar 16 kilometer dari ibu kota Dhaka memaparkan bahwa situasi di Bangladesh cukup mencekam.
Lela, yang menikah dengan suaminya warga Bangladesh di Jakarta pada tahun 1998 tahun yang sama Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Dia membandingkan kerusuhan di Jakarta pada 1998 dengan apa yang terjadi di Bangladesh saat ini.
“Kemarin sampai jam 4 [pagi waktu setempat] saja masih dengar bunyi tembakan,” ujar Lela ketika dihubungi pada Selasa (06/08).
Baca juga:
Lela yang bekerja sebagai arsitek sudah menganggap Bangladesh seperti negeri sendiri.
Dia mengaku sedih melihat situasi setempat. Pada tanggal 17 dan 18 Juli puncak dari demonstrasi mahasiswa Bangladesh menentang kepemimpinan PM Hasina Lela, suaminya, dan kedua putri mereka yang masing-masing berumur 19 dan 15 tahun sudah mempersiapkan diri untuk angkat kaki dari dari rumah mereka di Uttara yang dekat dengan bandara.
“Paspor sudah siap, kami sudah pakai sepatu kets,” ujar Lela.
Pada tahun 1998, Lela yang merupakan lulusan Universitas Indonesia (UI) menahan diri untuk tidak ikut demonstrasi mahasiswa karena posisinya yang sudah akan menikah.
Kali ini, dia khawatir untuk bergerak ke mana-mana karena mengkhawatirkan kedua putrinya.
Membandingkan kondisi Bangladesh saat ini dengan Indonesia pada 1998, Lela menganggap para mahasiswa Indonesia pada saat itu lebih kompak mengingat komunikasi yang erat antar universitas.
Di Bangladesh, menurut pengamatannya, baru belakangan demonstrasi “terarah” karena sebelumnya demonstrasi masih “kecil-kecil” dan seolah berjalan masing-masing.
Lela mengatakan sebagian WNI sudah mendesak pihak Kementerian Luar Negeri untuk memprioritaskan evakuasi terhadap mereka apabila dibutuhkan.
“Sepertinya Bangladesh dilihat dari Indonesia sebagai negara [dunia] ketiga yang WNI-nya kebanyakan TKI [Tenaga Kerja Indonesia] jadi kurang dipandang,” ujar Lela.
Sementara bagi Dewi, yang bersuamikan warga Bangladesh, dirinya merasa pihak KBRI cenderung lebih mementingkan WNI meski banyak dari WNI di Bangladesh yang menikah dengan warga lokal.
“Kadang saya pun bingung kalau mau minta prlindungn ke KBRI. Hanya untuk WNI saja bagaimana dengan suami dan mertua saya? Saya pun tak mau egois. Ya, kita berdoa saja semoga tidak terjadi apa-apa,” ujarnya.
Apa pengaruh kerusuhan di Bangladesh dan mundurnya PM Sheikh Hasina terhadap Indonesia?
Pengamat Asia Selatan asal Universitas Islam Indonesia (UII), Hadza Min Fadhli Robby, mengatakan apa yang terjadi di Bangladesh sebetulnya bukanlah fenomena yang baru di kawasan tersebut pasca COVID-19.
Hadza menyebut banyak negara di Asia Selatan yang akibat pandemi berhadapan dengan gejolak ekonomi dan masalah-masalah terkait konsolidasi politik.
“[Seperti] yang kemarin [tahun 2023] terjadi di Pakistan upaya penggulingan Imran Khan. Yang sekarang kita lihat di Bangladesh sebenarnya merupakan hasil dari dinamika politik pasca COVID-19,” ujar Hadza ketika dihubungi Selasa (06/08).
Hadza juga menyoroti fenomena dinasti politik di Asia Selatan. Sebagai anak dari pendiri Bangladesh, Mujibur Rahman, Hasina mendapat banyak privilese sekalipun keluarganya dibantai pada kudeta pada 15 Agustus 1973.
Hadza melihat banyak sekali persamaan dari segi ide-ide politik progresif Hasina dengan Benazir Bhutto, mantan Perdana Menteri Pakistan yang tewas dibunuh pada Desember 2007 dan juga putri dari Zulfikar Bhutto, presiden keempat Pakistan.
“Hanya saja ketika Hasina kemudian mengkonsolidasi kekuatannya di lingkaran pemerintahan pusat, dia banyak sekali melibatkan kroni-kroni,” ujar Hadza.
“Itu berujung pada dominasi Hasina selama 15 tahun sejak tahun 2009.”
Baca juga:
Hadza menilai apa yang terjadi selama dua bulan belakangan merupakan bumerang dari dinasti politik yang dibangun Hasina tetapi tidak dijalankan secara akuntabel.
Di sisi lain, Hadza menggarisbawahi status Hasina sebagai pemimpin perempuan di Bangladesh yang, menurut dia, banyak menawarkan agenda yang awalnya pro-rakyat miskin dan pro-perempuan termasuk kebijakan anti-kekerasan berbasis gender.
“Namun, seiring waktu, interaksi Hasina dengan dengan elit membuat Hasina jadi seolah-olah tidak memiliki keterkaitan dengan aspirasi masyarakat umum. Semakin tidak demokratisnya Hasina justru semakin menutup peluang bagi gerakan feminis untuk bisa lebih leluasa dalam mengaspirasikan kepentingannya,” ujar Hadza.
“Inilah yang membuat gerakan-gerakan perempuan di Bangladesh mencari koalisi dengan partai di luar Liga Awami.”
“Ini isunya adalah diktator perempuan atau pemimpin perempuan tidak selamanya favorable terhadap hak-hak perempuan.”
Baca juga:
Menanggapi potensi kevakuman kepemimpinan di Bangladesh setelah kepergian PM Hasina, Hadza menyoroti beberapa aktor yang berperan dalam transisi politik Bangladesh, yaitu Presiden Bangladesh, militer, dan aktivis mahasiswa.
Gerakan politik mahasiswa di Bangladesh, menurut Hadza, sepenuhnya diinisiasi oleh mahasiswa generasi Z. Hal ini dipandang banyak kalangan sebagai sebuah tonggak politik bukan hanya di Bangladesh, melainkan di Asia Selatan.
“Ketika Bangladesh dulu masih di bawah penjajahan Pakistan, pergerakan untuk kemerdekaan Bangladesh awalnya juga dimulai oleh aktivis mahasiswa yang waktu itu memperjuangkan Bahasa Bengali untuk dapat dipakai sebagai bahasa nasional,” ujar Hadza.
Hadza menyangsikan militer akan berkuasa di Bangladesh. Militer, menurut dia, akan memastikan transisi politik berlangsung secara stabil mengingat posisinya yang dihormati karena dulu berjuang untuk rakyat Bangladesh.
Meskipun ada beberapa petinggi militer yang punya relasi dengan Hasina, Hadza memandang hubungan ini semata pragmatis dan bersifat profesional semata.
“Sejauh amatan saya mereka cukup fair dalam melihat dinamika politik di Bangladesh,” ujarnya.
Bagaimana pengaruh kerusuhan di Bangladesh terhadap pengungsi Rohingya?
Hadza menyebut Bangladesh bukanlah negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1952 sehingga mereka tidaklah bertanggung jawab untuk memberikan proteksi terhadap pengungsi Rohingya.
“Hanya saja, mereka merasa punya tanggung jawab moral untuk mengakomodasi orang-orang Rohingya. Ada keterikatan sejarah dan sosial antara orang Bengal dan orang Rohingya,” kata Hadza.
PM Hasina, sambung dia, melihat pengungsi Rohingya sebagai masalah yang praktis sebagai pengungsi yang perlu ditampung dan mereka pun meminta bantuan dari PBB.
“Tentu saja ini dalam beberapa hal menimbulkan masalah seperti misalnya ada masalah overcrowding, ada masalah mismanagement dalam pengelolaan pengungsi,” ujar Hadza.
Bangladesh, sambung Hadza, masih berupaya membangun dialog dengan ASEAN untuk mencari solusi antara Rohingya dan Myanmar.
Hadza memandang transisi politik Bangladesh ke depan akan mempengaruhi masalah terkait pengungsi Rohingya. Apabila kerusuhan sipil berlanjut, Hadza melihat India akan khawatirkan bukan hanya pengungsi Rohingya saja melainkan warga Bangladesh juga akan mengungsi.
“Dulu sempat menjadi masalah besar antara India dan Bangladesh soal konflik perbatasan dan masalah itu selesai ketika Hasina berkuasa,” ujar Hadza.
Bagi Indonesia sendiri, lanjut Hadza, Indonesia kemungkinan akan terkena dampak arus pengungsi yang lebih berat apabila kerusuhan di Bangladesh terus berlanjut.
“Beban ASEAN menghadapi Rohingya saja sudah luar biasa berat, apalagi nanti ketika menghadapi migration outflow dari Bangladesh. itu akan menjadi salah satu hal yang akan memusingkan pemangku kebijakan di Indonesia,” ujar Hadza.
Faktor lainnya adalah ketidakefektifan lembaga regional Asia Selatan yaitu SAARC yang akan mempersulit ASEAN dalam membangun dialog dengan Asia Selatan terkait potensi masalah migrasi yang bisa terjadi di Bangladesh.