Iuran Kepesertaan JKN Wujud Solidaritas Bangsa Indonesia

Jakarta

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus menjamin layanan kesehatan rakyat Indonesia. Pada Laporan Keuangan Aset Dana Jaminan Sosial periode tahun 2022, terinformasikan total pemanfaatan layanan JKN selama 2022, baik kunjungan sakit maupun kunjungan sehat, mencapai 502,9 juta pemanfaatan atau 1,4 juta pemanfaatan per hari.

Skrining kesehatan selama 2022 mencapai 15,5 juta pemanfaatan untuk skrining Riwayat Kesehatan, Skrining Lanjutan Pemeriksaan DM, dan Skrining Kanker Serviks. Untuk delapan penyakit katastropik, program JKN membiayai 23.265.166 kasus dengan total pembiayaan sebesar Rp 24,05 triliun. Seluruh penjaminan selama 2022 tersebut nilainya sebesar Rp 113,47 triliun, yang dibiayai melalui pembayaran iuran seluruh peserta dengan bergotong royong, dengan total pendapatan iuran sebesar Rp 144,04 triliun.

Semangat gotong royong ini berdasarkan nilai-nilai Pancasila, Pasal 34 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 28 H ayat (3) UUD 1945 yang dioperasionalkan Pasal 4 huruf (a) UU SJSN dan Pasal 4 huruf (a) UU BPJS, yang mengamanatkan penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan penyelenggaraannya oleh BPJS berdasarkan prinsip gotong royong.

Seluruh peserta JKN bergotong royong dengan wajib membayar iuran, termasuk peserta fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdaftar sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan peserta yang dibiayai pemerintah daerah, yang iurannya dibayar APBN dan APBD sesuai amanat Pasal 17 ayat (1) dan ayat (4) UU SJSN. Jadi, tidak ada peserta yang gratis, semuanya wajib membayar iuran.

Namun, dalam perjalanannya menjadikan negara Indonesia yang lebih sehat, prinsip gotong royong dalam Program JKN saat ini sedang digugat oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melalui pernyataan pengurusnya di media sosial, yaitu keinginan untuk menghapuskan iuran pada Program JKN, dan menjadikan seluruhnya ditanggung APBN.

Tentunya apabila kita melihat prinsip yang dianut Program JKN yaitu gotong-royong, ide PSI tersebut akan sulit tercapai. Prinsip gotong royong ini merupakan pengamalan Pancasila sila ke-5 yang berbunyi ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Prinsip ini tak beda jauh dengan pengamalan berbagi yang diterapkan oleh umat muslim dalam merayakan momen Idul Adha, yang berbagi kepada sesamanya, tanpa membeda-bedakan status sosial.

Ide PSI ini, dalam narasinya, didasarkan pada persoalan masih adanya masyarakat yang tidak dilayani JKN karena kepesertaan nonaktif di JKN. Dengan menghapus iuran maka tidak akan ada lagi masyarakat yang ditolak karena tidak membayar iuran.

Di saat pemerintah bersikeras menghapus kewajiban pemerintah mengalokasikan minimal 5 persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk kesehatan di RUU Kesehatan, PSI meminta semuanya ditanggung APBN, tetapi PSI tidak mengkritisi keras hatinya pemerintah yang ingin menghapus kewajiban alokasi anggaran kesehatan.

Apabila hendak menghapuskan iuran pada program JKN dan menjadikannya beban APBN seutuhnya maka kita juga harus melihat kembali draft RUU Kesehatan yang terakhir karena pemerintah hanya menyebut alokasi anggaran untuk kesehatan dari APBN dan APBD dengan memperhatikan kesinambungan fiskal dan penganggaran berbasis kinerja.

Dengan sikap pemerintah ini, tentu sangat sulit untuk membebani seluruh pembiayaan program JKN kepada Pemerintah. Bagaimana pemerintah mau membiayai layanan kesehatan seluruh rakyat Indonesia dengan biaya sebesar Rp 113,47 triliun (sebagai contoh mengacu pada besarnya beban jaminan kesehatan 2022), dan angka ini akan terus meningkat tiap tahun. Sementara RUU Kesehatan mensyaratkan anggaran kesehatan dengan kesinambungan fiskal.

Saat ini saja pemerintah terus menurunkan jumlah peserta PBI. Dari kuota PBI sebanyak 96,8 juta fakir miskin dan orang tidak mampu, pada 2022, pemerintah hanya membiayai 86,6 juta untuk PBI dengan total iuran Rp 43,64 triliun. Jumlah ini masih akan terus dikurangi pada 2023 sehingga alokasi anggaran untuk PBI akan menurun lagi.

Jangan lagi terjadi hal seperti di Jember, di mana seorang ibu yang tega menghilangkan nyawa kedua anaknya karena tidak memiliki jaminan kesehatan dan akhirnya dirinya juga menghilangkan nyawanya sendiri. Hal ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah, di mana seharusnya menjamin kesehatan masyarakatnya. Pemerintah wajib memastikan bila terdapat warga yang kurang mampu agar dapat didaftarkan sebagai peserta PBI.

Sumber utama penerimaan negara adalah dari pajak, sementara tax ratio kita masih sekitar 10,4% pada 2022. Dan faktanya, masih banyak pelaku usaha dan masyarakat yang tidak patuh membayar pajak dengan benar.

PSI juga membandingkan Program JKN kita dengan skema pembiayaan kesehatan di negara lain seperti, Malaysia, Swedia, dan Finlandia yang semuanya ditanggung oleh pajak. Menurut saya hal tersebut kurang tepat mengingat banyak hal, seperti jumlah penduduk kita yang sangat besar dibandingkan ketiga negara tersebut, tax ratio ketiga negara tersebut lebih tinggi dari Indonesia. Sebab, kesadaran hidup sehat di ketiga negara tersebut sudah lebih baik sehingga upaya kuratif bisa diminimalisir dan sebagainya.

Usulan Perbaikan

Program JKN yang sudah memasuki tahun kesepuluh ini tentunya memang masih memiliki masalah, khususnya di area kepesertaan dan pelayanan. Untuk kepesertaan fakir miskin dan orang tidak mampu, pemerintah pusat dan daerah seharusnya tetap memiliki komitmen anggaran untuk mematuhi pasal 17 ayat (1) dan ayat (4) UU SJSN.

Dalam melakukan cleansing data, Kementerian Sosial dan Dinsos harus melakukannya dengan obyektif, yaitu langsung ke masyarakat dan memberitahukan bila memang hendak menonaktifkan sehingga masyarakat memiliki hak jawab. Jangan sampai masyarakat tahu dinonaktifkan kepesertaannya ketika sedang sakit.

Bagi peserta mandiri yang memang sudah tidak mampu dan memiliki tunggakan iuran, seharusnya Kementerian Sosial dan Dinsos membuka ruang bagi mereka menjadi peserta PBI atau peserta yang dibiayai pemda. Selagi menjadi peserta yang iurannya dibiayai APBN atau APBD, untuk tunggakan iurannya saya berharap pemerintah memberikan diskon pembayaran tunggakan iuran dan skema mencicil berdasarkan kemampuan peserta.

Untuk kepesertaan pekerja penerima upah, masih banyak perusahaan yang tidak mau mendaftarkan pekerja dan keluarganya ke program JKN, demikian juga ada perusahaan yang tidak disiplin membayar iuran JKN. Untuk masalah ini, seharusnya pemerintah memberlakukan PP No. 86 Tahun 2013 tentang sanksi tidak dapat layanan public serta memperkuat kinerja pengawas ketenagakerjaan.

Hal-hal tersebut yang seharusnya diangkat PSI untuk menjawab persoalan kepesertaan yang dinarasikan dalam medsosnya. Selain itu, PSI juga seharusnya meminta presiden mengevaluasi 30 kementerian/lembaga dan seluruh pemda yang diamanatkan Inpres No. 1 tahun 2022 agar benar-benar serius mendukung program JKN.

Saya mengapresiasi PSI yang mau mengkritisi persoalan iuran dan kepesertaan di program JKN, namun usulan untuk menghapuskan iuran dan prinsip gotong royong di program JKN adalah hal yang tidak tepat. Semoga PSI mau memberikan masukan lain untuk mendukung usulan yang sudah saya sampaikan di atas agar seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta aktif program JKN dan mendapatkan penjaminan layanan kesehatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *