Angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Pandeglang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun ini, tercatat mencapai 39 kasus.
“Jumlah kekerasan pada perempuan dan anak sebanyak 39 kasus baik perempuan dan anak, dari Januari sampai dengan Juli. Jika dibandingkan dengan tahun kemarin, ini mengalami peningkatan jumlah,” kata Kepala UPTD PPA pada Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Mila Oktaviani kepada wartawan di Pandeglang, Rabu (24/7/2024).
Mila merinci dari 39 kasus tersebut terdiri dari 31 korban anak, dan 8 korban perempuan. Adapun korban kekerasan seksual paling tinggi berjumlah 31 orang, fisik 3 orang, TPPO 1 orang dan KDRT 4 orang.
Mila mengungkapkan ada beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, salah satunya adalah peran orang tua yang tidak memperhatikan pergaulan anaknya. Ia juga mengungkapkan pelaku kekerasan mayoritas merupakan orang terdekat korban.
“Kekerasan ini terjadi dari orang terdekat, pamannya, kakek kandungnya, saudaranya, pacarnya atau bapak tirinya, jadi penyebab bisa dari lingkungan keluarga dan orang-orang yang dikenal,” ungkapnya.
Komisi nasional perlindungan anak (Komnas PA) Pandeglang, Gobang Pamungkas menilai tingginya angka tersebut sangat memprihatikan. Ia menyebut kehidupan anak dan perempuan di Pandeglang masih terancam.
“Jujur harus saya katakan memprihatinkan. Jadi Pandeglang ini belum masuk kategori kota yang aman untuk anak, dan perempuan. Sebab kasus kekerasan terhadap anak memang sampai saat ini tren-nya justru tidak pernah mengalami penurunan, malah kenaikan,” paparnya.
Atas peristiwa ini, ia menyebut tidak ada keseriusan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pandeglang untuk menekan angka kekerasan. Ia melihat belum ada langkah konstruktif yang dilakukan oleh Pemkab Pandeglang.
“Dari beberapa peristiwa itu, dapat kami simpulkan bahwa sebetulnya Pemkab Pandeglang ini, paling tidak serius dalam menyikapi kekerasan terhadap anak. Kenapa bisa saya katakan demikian, sebab sampai hari ini perhatian kepala daerah (Bupati) sangat minim sekali terhadap korban-korban kekerasan terhadap anak,” tegasnya.
Selain penindakan hukum terhadap pelaku kekerasan, perlu juga ada treatment khusus yang diberikan terhadap korban anak dan perempuan. Ia melihat masih ada korban yang kehilangan masa depannya.
“Korban anak ada yang sampai berhenti (sekolah), ada yang pindah begitu. Nah itu kan perlu perhatian secara khusus dan mendalam dari pemerintah daerah,” katanya.
Sementara itu, akademisi dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Banten, Ahmad Subhan menekankan agar peringatan hari anak nasional jangan dijadikan sebagai acara seremonial tahunan. Ia meminta kepada calon bupati dan wakil bupati Pandeglang untuk serius menciptakan kehidupan ramah anak dan perempuan di Pandeglang.
“Sosialisasi perempuan dan anak menjadi hal penting bagi para calon pemimpin yang akan berkontestasi dalam Pilkada atau Pilgub 2024. Karena permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak begitu kompleks. Undang-undang juga sudah mengamanatkan ada perlakuan yang sama terhadap perempuan dan laki-laki. Ada tanggung jawab yang sama untuk melindungi hak perempuan, tanggungjawab pemerintah, Pemda untuk bersama-sama mengupayakan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Tapi ini masih jauh panggang dari pada Api,” paparnya.
Ia berpesan kepada bupati selanjutnya agar jangan menjadikan kaum perempuan dan anak sebagai materi kampanye saja. Menurutnya, bupati dan wakil bupati Pandeglang selanjutnya harus mampu memperdayakan anak dan perempuan.
“Kepada calon pemimpin, seharusnya mampu memberdayakan perempuan dan perlindungan anak, dengan memiliki program untuk peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak. Bukan hanya untuk dijadikan ajang kampanye politik saja, dan harus sejalan dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bersama-sama berkiprah dalam pembangunan bangsa, dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan ataupun anak,” terangnya.