Komando Pusat Amerika Serikat (AS) mengatakan rudal yang ditembakkan oleh pemberontak yang didukung Iran, Houthi, menghantam sebuah kapal tanker minyak Yunani di lepas pantai Yaman. Hantaman rudal itu mengakibatkan kerusakan pada kapal tetapi tidak ada korban jiwa.
“Sekitar pukul 01.00 (waktu Sanaa) tanggal 18 Mei, Huthis yang didukung Iran meluncurkan satu rudal balistik anti-kapal (ASBM) ke Laut Merah dan menyerang M/T Wind, sebuah kapal tanker minyak berbendera Panama, yang dimiliki dan dioperasikan oleh Yunani”, kata CENTCOM dalam postingan di situs media sosial X, , Minggu (19/5/2024).
Dikatakan bahwa kapal tersebut baru saja berlabuh di Rusia dan menuju Tiongkok. Serangan itu menyebabkan banjir “yang mengakibatkan hilangnya tenaga penggerak dan kemudi”, kata CENTCOM (Central Command).
CENTCOM mengatakan sebuah kapal dari koalisi internasional untuk melindungi jalur pelayaran penting melalui Teluk Aden dan Laut Merah merespons tetapi tidak ada bantuan yang diperlukan.
Kapal itu kemudian melanjutkan perjalanannya dengan kekuatannya sendiri.
Sebelumnya, perusahaan keamanan maritim Ambrey melaporkan serangan itu. Dia mengatakan bahwa serangan itu terjadi di lepas pantai kota Mokha di barat daya Yaman, menghadap selat Bab al-Mandeb yang strategis.
Badan Keamanan Maritim Angkatan Laut Inggris UKMTO juga mengatakan pihaknya telah menerima laporan tentang sebuah kapal “mengalami kerusakan ringan setelah dihantam oleh benda tak dikenal”.
“Kapal dan awaknya selamat dan melanjutkan perjalanan ke pelabuhan berikutnya,” tambah Operasi Perdagangan Maritim Inggris.
Dikatakan bahwa insiden itu terjadi 98 mil laut (180 kilometer) selatan pelabuhan Hodeidah di Yaman yang dikuasai pemberontak.
Kelompok Houthi yang menguasai sebagian besar Yaman telah melancarkan puluhan serangan terhadap kapal-kapal di dalam dan sekitar Laut Merah sejak November dalam sebuah kampanye yang mereka katakan sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza yang dilanda perang.
Serangan tersebut telah memicu serangan balasan oleh pasukan AS dan Inggris serta pembentukan koalisi internasional untuk melindungi pelayaran di wilayah tersebut.