Lebih dari 220 orang tewas, banyak yang masih dinyatakan hilang dan sekitar 60.000 orang harus mengungsi sejak kekerasan komunal dan etnis melanda negara bagian Manipur di India pada tahun 2023, menurut pejabat pemerintah dan kelompok masyarakat sipil. Konflik berkecamuk antara mayoritas Meitei dan minoritas Kuki.
Setahun setelah kerusuhan berdarah, ketegangan antara kedua komunitas tidak kunjung berkurang. Kamp dan posko militer yang kini tersebar di Manipur adalah pengingat atas ketidakstabilan yang mencengkeram wilayah tersebut.
Kekhawatiran terhadap milisi bersenjata
Kesenjangan agama di Manipur digariskan secara geografis. Meitei yang sebagian besar warganya beragama Hindu dan mencakup 53 persen populasi, kebanyakan tinggal di dasar lembah yang subur dan sarat mata air. Sedangkan etnis Kuki, yang mayoritas beragama Kristen dan mewakili 16 persen populasi, hidup di kawasan pebukitan yang curam dan berbatu.
Tidak heran jika di Manipur warga Meitei cendrung lebih makmur ketimbang suku Kuki.
“Segala sesuatunya jauh dari normal di Manipur. Satu hal yang selalu terlihat jelas, dan tidak berubah, adalah absennya kedaulatan negara, baik negara bagian Manipur maupun pemerintah pusat India, melepas tangan terserah pada orang-orang untuk mengurus diri mereka sendiri,” kata Pradip Phanjoubam, editor jurnal web Imphal Review of Arts and Politics.
Phanjoubam telah meliput kekerasan sektarian di Manipur sejak bentrokan pertama pecah pada Mei 2023. Dia mengaku prihatin dengan munculnya milisi sipil bersenjata yang menjaga komunitas masing-masing.
“Fenomena ini memang unik, namun sudah bisa diduga. Kemunculannya ditakuti dan dibenci oleh masyarakat awam, namun tidak dapat disangkal. Ini adalah gambaran lain dari bencana besar yang sedang dihadapi Manipur saat ini,” katanya kepada DW.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Perlawanan masyarakat adat
Bentrokan etnis hingga kini masih terus terjadi di Manipur. Beberapa LSM dan aktivis hak asasi manusia melaporkan, konflik antara penghuni lembah dan perbukitan ikut mencuatkan “popularitas” kelompok bersenjata radikal.
“Pemuda dipersenjatai di seluruh negara bagian, tidak hanya kelompok yang bertikai, tetapi juga suku yang bukan kelompok Kuki atau Meitei juga mempersenjatai diri. Militerisasi kembali terjadi di Manipur,” kata Mary Beth Sanate, sekretaris organisasi hak-hak perempuan di Churachandpur, kota terbesar kedua di Manipur dan episentrum kekerasan.
“Pemerintah belum melakukan apa pun dalam mendorong inisiatif atau negosiasi perdamaian. Pemerintah hanya terlibat dalam pengendalian zona penyangga dan penempatan tentara,” katanya. “Saat ini tidak ada pembicaraan mengenai perdamaian karena pelanggaran hukum masih terus terjadi di Manipur. Yang lebih buruk lagi, tidak ada keadilan yang diberikan kepada para korban kekerasan.”
Pudarnya harapan damai
Pakar politik India Bidhan Laishram mengatakan, kemunculan faksi bersenjata bukanlah hal baru di Manipur yang acap bergolak. Saat ini, makin banyak kekuatan yang aktif di wilayah tersebut, termasuk berbagai kelompok separatis dan milisi yang loyal kepada New Delhi dan beroperasi dengan impunitas berdasarkan Undang-Undang Kewenangan Khusus Angkatan Bersenjata, yang memberikan keleluasaan kepada militer di wilayah yang “rawan”.
“Konflik teranyar menambah level militerisasi di wilayah ini dan menjadikannya normal. Milisi sipil telah menjadi bagian dari kesadaran sehari-hari sebagai sebuah kebutuhan, dan ini merupakan lapisan lain yang ditambahkan pada tahun lalu,” kata Laishram kepada DW.
“Militerisasi warga sipil, ditambah dengan kembali aktifnya berbagai kelompok bersenjata, telah menyebabkan ambruknya hukum dan ketertiban,” ujar Sophia Rajkumari, pendiri kelompok advokasi perempuan Eta Northeast Foundation Trust.
“Militerisasi menghalangi harapan untuk kembali ke situasi normal, karena proyek pembangunan dan investasi yang ada sebelumnya terhenti,” tambah Rajkumari.
Mobilisasi pemuda ‘demi bertahan hidup’
Komite Koordinasi Integritas Manipur, COCOMI, sebuah asosiasi organisasi Meitei, mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan resolusi, dan mengungkapkan rasa frustrasi akibat lambannya penyelesaian konflik.
“Alih-alih memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi kehidupan dan harta benda warganya, pemerintah malah menggunakan tentara bayaran untuk menyerang rakyatnya sendiri. Masyarakat Manipur terjebak dalam siklus keputusasaan ini,” kata juru bicara COCOMI Khuraijam Athouba.
“Para pemuda harus memobilisasi dan mempersenjatai diri untuk bertahan hidup, karena perang proksi yang dilancarkan pemerintah telah menghancurkan masa depan Manipur dengan dalih kepentingan nasional dan geopolitik,” tambah Athouba.
Kuki inginkan pemekaran
Janghaolun Haokip dari badan pemerintahan tradisional suku Kuki, juga meratapi ketidakstabilan keamanan di Manipur.
Menurutnya, lebih dari 4.500 senjata api telah dijarah dari gudang senjata polisi setelah kekerasan etnis meletus di negara bagian tersebut. Sejauh ini, baru hanya sekitar 1.800 senjata api yang berhasil ditemukan atau dikembalikan. Haokip menuntut pemerintah mempercepat proses perlucutan senjata di Manipur.
“Pemerintah negara bagian di bawah Menteri Utama Biren Singh terlibat dalam agresi kekerasan bersenjata terhadap Kuki, yang mengakibatkan permusuhan terus-menerus antara kedua komunitas tersebut,” kata Haokip kepada DW. Menurutnya, cara mengakhiri konflik adalah dengan memisahkan kedua kelompok.
“Pemerintah hanya dapat memberikan solusi dengan mewujudkan pembentukan unit administratif terpisah bagi Kuki dan Meitei demi perdamaian dan stabilitas abadi di kawasan ini,” katanya.
Kesenjangan etnis kian dalam
Konflik yang berkepanjangan juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi kehidupan sehari-hari.
Harga komoditas penting seperti bahan pangan, bahan bakar dan obat-obatan berfluktuasi karena gangguan rantai suplai dan ketidakpastian yang merajalela.
Banyak warga saat ini telah meninggalkan Manipur, sementara yang lain kehilangan mata pencaharian atau aset-asetnya. Dampak konflik melampaui harta benda, karena turut merusak persahabatan dan ikatan sosial yang telah lama terjalin. Akibatnya, aktivitas sehari-hari seperti bertani atau memancing di pinggiran lembah dan perbukitan menjadi kian sulit.
Rajkumari mengatakan intensitas kekerasan telah menurun sejak mawa awal konflik, meski acap terjadi ledakan kekerasan secara sporadis.
“Tetap tidak ada upaya yang dilakukan di tingkat mana pun untuk mengatasi masalah mendasar ini,” tambahnya.