Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan ceramah saat salat Isya dan Tarawih di Masjid Agung Awwal Fathul Mubien, Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut). Dalam ceramahnya, Wapres menyinggung soal nafsu ingin menjadi pemimpin.
Ma’ruf mulanya mengatakan bahwa ramadan merupakan momen istimewa. Termasuk, kegiatan berpuasa.
“Kata ulama, karena puasa itu samar, antara orang puasa dengan orang tidak puasa itu tidak ada bedanya. Kalau orang solat, keliatan, sujudnya keliatan. Orang berzakat, keliatan, pemberi ada yang menerima. Kalau orang puasa, tidak terlihat sama sekali, Rabu (4/4/2024).
Dia menyebut saat puasa, jemaat dilatih untuk menahan hawa nafsu. Dimana menurutnya nafsu itu memiliki kencenderungan yang tidak baik.
“Semua orang punya nafsu, dan nafsu itu kecenderungannya membawa kejelekan. Nah padahal nafsu itu, kalau tidak ditahan, itu kebablasan
“Makanya Nabi mengatakan, kalau orang yang diberi harta satu gunung, dia pengen dua gunung. Diberi emas satu gunung, dia ingin dua gunung. Terus saja, ingin satu rumah, minta dua rumah, tiga rumah
Kemudian, Wapres Ma’aruf mengibaratkan nafsu seperti anak kecil yang tumbuh bergantung pada ibunya. Hal itu, kata dia, akan berbahaya jika dibiarkan terus menerus.
“Menempatkan keenakan, manisnya hawa nafsu di dalam hati, itu penyakit yang sulit disembuhkan. Harus benar-benar berlatih, berjihad, berjuang untuk mengendalikan hawa nafsu itu
“Makanya ketika Nabi pulang dari Perang Badar, beliau mengatakan, kita pulang dari perang kecil kepada menghadapi perang besar
Wapres Ma’aruf lantas mengutip ulama besar Syekh Nawawi Al-Batani yang menyebut bahwa syahwat yang paling sulit untuk diobati yaitu cinta kepada kepemimpinan. Karena itu, lanjutnya, kerap terjadi orang berebut ingin jadi pemimpin.
“Makanya kalau orang terjadi berebutan (menjadi) pemimpin, baik pemimpin negara, pemimpin ormas, pemimpin apa saja, perkumpulan apa saja, karena memang yang paling sulit itu diobatinyan
Lebih jauh, Ma’aruf Amin berbicara mengenai amalan puasa yang menurutnya cukup berdimensi. Lebih lagi, kata dia, ajaran agama atau syariat itu semuanya berhikmah.
“Tidak ada yang tidak ada hikmahnya. Nggak ada yang tidak berhikmah, semuanya berhikmah. Baik ibadah ritual, maupun ibadah sosial