Penghargaan film Eksil sebagai Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2023 sudah tepat. Film ini memang layak dinobatkan sebagai film dokumenter terbaik karena bisa menerjemahkan diskursus mengenai “korban politik” peristiwa 65. Selama ini diskursus tentang peristiwa 65 hanya banyak dilakukan di forum akademis, sehingga terkesan kurang ‘populer’ untuk diterima masyarakat.
Maka hadirnya film Eksil adalah jawaban dari pentingnya mempopulerkan diskursus tentang peristiwa 65. Tulisan ini tidak akan mencari benar-salah dalam peristiwa 65, tetapi fokus pada genosida intelektual sebagai kajian fenomena pengambilan keputusan politik yang patut dikoreksi.
Karya sutradara Lola Amaria ini bercerita mengenai nasib para mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri menggunakan beasiswa dari pemerintahan Presiden Sukarno. Hingga pada akhirnya G30S meletus dan peristiwa 65 membuat nasib mereka tidak beruntung, mereka harus hidup berpindah-pindah dari negara satu ke negara lainnya. Mereka terasing dan kehilangan kewarganegaraannya hingga tidak bisa pulang lagi ke Tanah Air.
Detail kesaksian tentang kebenaran itu juga pernah disampaikan oleh Soe Tjen Marching, dosen di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London dalam diskusi yang diselenggarakan oleh PMII Rayon Pancasila UNNES pada 2021 silam. Dalam forum itu, ia menceritakan pertemuan dan wawancaranya dengan para eksil yang ia temui. Mereka dulu menjalani perkuliahan dengan disiplin ilmu yang berbeda-beda dan tersebar di beberapa negara Eropa, ada yang ahli teknik mesin, ahli teknik fisika, ahli bahasa, dan lain-lain.
Tidak hanya di luar negeri, para intelektual yang berada di dalam negeri juga terkena dampak dan menjadi korban prahara peristiwa 65. Abdul Wahid, dosen di Departemen Sejarah UGM ini mencatat tentang efek dari peristiwa 65 di 10 perguruan tinggi di Indonesia. Hasilnya, sebanyak 299 dosen dan 3.464 mahasiswa hilang, ditahan, bahkan tewas selama masa itu, peristiwa inilah yang disebutnya genosida intelektual (Wahid, 2018).
Keputusan Politik sebagai Jalur Penyelesaian
Keputusan politik paling berani yang berkaitan dengan isu peristiwa 65 adalah wacana terang-terangan pencabutan Tap MPRS No 25 Tahun 1966 oleh Gus Dur, Presiden ke-5 Indonesia. Niat Gus Dur mencabut peraturan itu tak lain adalah karena hendak menghapus diskriminasi yang selama ini masih berlaku.
Ia juga memerintahkan menteri-menterinya untuk mengembalikan hak-hak para korban peristiwa 65 yang terenggut. Selain itu, ia sebagai figur Ketua PBNU juga meminta maaf atas peran NU dalam peristiwa 65.
Sejauh ini pemerintah sudah menempuh langkah permintaan maaf yang dilakukan oleh Presiden Jokowi atas pelanggaran HAM berat yang salah satu di antaranya adalah peristwa 65. Tapi satu hal yang perlu digarisbawahi, korban genosida adalah korban politik, maka dari itu perlu diselesaikan melalui jalur keputusan politik.
Permintaan maaf itu perlu dibarengi dengan pengambilan kebijakan sebagai keputusan politik yang konkrit sehingga memperlihatkan komitmen yang jelas. Seperti kata Mahfud MD belakangan: korban peristiwa 65 tidak punya salah ke negara. Maka dari itu, korban dari pihak mana pun tidak berhak disalahkan, mau bagaimanapun masing-masing dari mereka adalah korban.
Seandainya Tidak Ada Genosida Intelektual
Masih ada persoalan lain, yakni pemahaman publik yang masih terbatas terhadap pemikiran yang terbuka untuk menerima para korban peristiwa 65. Ini tidak lain karena efek politik pengetahuan Orde baru yang berhasil menyajikan teks-teks sejarah versi mereka.
Maka dari itu, kesadaran dan perlunya menilai secara kritis setiap narasi sejarah yang tersampaikan dalam buku teks-teks pelajaran di sekolah, khususnya pandangan terhadap peristiwa 65 yang sangat kompleks ini. Perlu ada perspektif narasi lain sebagai pembanding dari narasi yang selama ini direproduksi sejak zaman Orde Baru.
Bayangkan jika tidak ada genosida intelektual di negeri ini, jumlah intelektual yang menjadi korban dalam peristiwa 65 baik di dalam maupun luar negeri tidak sedikit. Mereka dipersiapkan Presiden Sukarno yang sudah berpikir visioner terhadap nasib bangsa yang masih seumur jagung kala itu.
Mereka menjadi ‘cetak biru’ Presiden Sukarno yang sudah dipersiapkan dengan baik. Dengan beragam latar belakang yang mereka miliki, andai saja tidak terjadi genosida intelektual, bisa saja kondisi negara ini beberapa langkah lebih maju dari sekarang. Film Eksil bisa menjadi refleksi apa yang dulu sudah menjadi ‘cetak biru’ Presiden Sukarno akan nasib bangsa ini.