Komeng dan Layar Mikro Politik Kita

Komeng yang bernama asli Alfiansyah Komeng secara mengejutkan mendapatkan melebihi 1,4 juta suara dalam Pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Jawa Barat. Perolehan suara ini melampaui kandidat lainnya yang mencalonkan diri dari daerah pemilihan yang sama. Bahkan sepanjang sejarah belum ada calon dari jalur legislatif baik itu di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota yang meraih angka pemilih sampai satu juta lebih suara.

Lalu apa yang menjadi strategi kampanye komedian ini dalam meraih simpati pemilihnya? Rupanya Komeng menyerahkan foto “agak lain” dibandingkan dengan calon DPD yang ada dalam surat suara. Foto itu seperti “berbicara”, tampak Komeng berfoto agak sedikit berekspresi dengan pose “mengagetkan”. Tampilan foto agak lain itu memang sudah diceritakan Komeng, dan pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun tidak melarangnya.

Komeng mengatakan bahwa foto standar para calon umumnya tidak dapat berkomunikasi atau hanya gambar yang “tidak hidup”. Foto Komeng ini memang tampak hidup, dan seolah berkomunikasi dengan pemilih yang hendak mencoblos surat suara DPD. Komeng yang berlatar komedian ini memang memiliki aspirasi untuk memajukan dunia komedi di Indonesia. Ia bahkan menyatakan perjuangannya untuk mewujudkan hari komedi di Indonesia tidak mudah. Komunikasi dengan anggota DPR sudah dilakukan dan juga tidak membuahkan hasil. Dorongan itulah yang ingin diperjuangkan Komeng ketika nanti duduk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Fenomena Komeng ini menurut hemat saya memuat setidaknya beberapa hal; pertama, pemilu kita masih ada dalam lingkup pesohor. Munculnya para selebritis dalam politik mengindikasikan adanya pihak populer yang cenderung dikenal oleh masyarakat. Masyarakat menganggap artis ini mampu mewakili atau justru hanya senang saja sehingga memilihnya, ini masih menjadi tanda tanya.

Sejak pemilu langsung pada 2004, banyak artis yang maju menjadi calon anggota legislatif di berbagai jenjang, sampai juga kontestasi kepala daerah baik di level kabupaten/kota maupun provinsi. Kehadiran mereka memang menguntungkan bukan hanya bagi diri mereka sendiri, namun juga menjadi berkah bagi partai. Partai dapat mendompleng popularitas artis untuk meraup suara pemilih sebanyak-banyaknya. Semakin populer artis itu dan disukai masyarakat, semakin banyak suara yang masuk untuk partai. Beberapa partai yang menggunakan strategi ini misalnya, Partai Amanat Nasional (PAN), PDI Perjuangan, Demokrat, dan PKB.

Kedua, Komeng menegaskan adanya pilihan politik masyarakat yang bersifat psikologis. Teori perilaku pemilih psikologis mengatakan bahwa masyarakat memilih kandidat dalam pemilu yang menurut mereka disukai. Masyarakat tidak melihat apa programnya, apa yang bisa didapatkan masyarakat ketika sang calon menjabat, dan dampak elektoral lainnya. Masyarakat juga cenderung tidak jauh menimbang apakah pilihannya itu akan memperbaiki nasib dirinya ke depan ataukah tidak.

Masyarakat kehilangan sisi rasionalitasnya, dengan melihat seluruh calon menjadi “sama”. Beberapa komentar di media sosial misalnya mengatakan bahwa kita pernah memilih calon yang seolah serius, berjanji memperbaiki nasib, namun kenyataannya tidak demikian. Ketika terpilih malah tidak ingat dengan masyarakat. Melihat kondisi ini pemilih akhirnya “bebas” memilih siapapun yang menurut mereka menarik, bukan berdasar program atau janjinya.

Ketiga, terpilihnya Komeng dengan suara mayoritas seolah sedang menyindir kondisi perpolitikan kita saat ini yang seperti dagelan. Panggung hiburan politik yang seolah jauh dari kata serius. Masyarakat kita memilih mereka yang suka membanyol mencerminkan kejenuhan pada seriusnya politik. Ini dapat dikatakan positif dan juga negatif. Positifnya, masyarakat kita masih mau menyalurkan pilihan politiknya dalam pemilu yang dinamakan dengan partisipasi aktif.

Keadaan ini dianggap positif untuk meneruskan laju dimensi demokrasi elektoral yang membutuhkan partisipasi masyarakat sebagai syarat keabsahannya. Di sisi yang lain, hal ini juga dapat bernilai negatif. Bisa dibayangkan mereka yang masuk dalam dunia politik perwakilan yang tidak memiliki visi negarawan, yang peduli dengan isu-isu krusial dalam masyarakat. Ini berarti berpolitik itu butuh ideologi.

Keempat, mungkin masyarakat kita membutuhkan edukasi politik yang lebih baik. Memang tidak ada yang melarang siapapun untuk maju menjadi kandidat dalam politik elektoral. Orang dengan beragam latar belakang, jika memenuhi masyarakat dapat dicalonkan atau mencalonkan diri. Namun, mereka harus jelas ingin mengusung program apa yang bermanfaat bagi pemilihnya. Tanpa kejelasan itu, perwakilan menjadi tiada berarti.

Dalam teori perwakilan politik terdapat tiga konsep perwakilan. Pertama, jenis politico, di mana wakil mewakili aspirasi partai yang mengusungnya. Kedua, delegates; corak ini memposisikan wakil mewakili dirinya sendiri, kehendak politik sepenuhnya di tangan si wakil. Ketiga, corak partisipan, di mana si wakil mewakili sepenuhnya aspirasi pemilihnya.

Dengan adanya fenomena Komeng ini, semoga bukan mengindikasikan pemilih kita sedang ndhagel (bercanda), karena sesungguhnya politik itu tidak untuk bermain-main, hanya hore-hore, atau seru-seruan. Jika ternyata orientasi pemilih kita memang demikian, patut dicatat bahwa masa depan demokrasi kita sungguh suram.

Arief Hidayat mahasiswa Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *