Harta, wanita dan tahta tidak tak boleh direcoki atau diganggu oleh orang lain. Kalau diganggu, jalan penyelesaiannya melalui carok. Hanya saja, untuk melakukan carok sendiri harus melalui beberapa fase atau tahapan rembugan (rapat) dan ritual.
Ibnu mencontohkan, ketika terjadi konflik antara keluarga A dan B, maka masing-masing keluarga melakukan rapat. Rapat itu membicarakan masalah yang terjadi, menentukan siapa yang mewakili pihak keluarga untuk carok, serta menentukan tempat dan waktu dilakukannya carok.
“Kalau misalnya aktor utama di keluarga tidak berani, lalu dipilih siapa yang akan mewakili keluarga untuk menghadapi carok. Di pihak seberang begitu juga,” terang Ibnu.
Setelah masing-masing pihak menentukan waktu, tempat, dan siapa yang bakal bertarung, maka carok bisa dilaksanakan. Bila dalam duel salah satu pihak kalah dan meninggal, maka jenazahnya diserahkan kepada kepala desa oleh pihak yang menang. Lalu pihak yang menang secara gentlemen menyerahkan diri kepada pihak keamanan.
Ibnu melanjutkan, dahulu senjata yang digunakan dalam carok bermacam-macam. Memang yang lebih utama adalan celurit, tapi biasanya pelaku juga membawa senjata tajam cadangan, seperti pisau, golok, dan lainnya. Hal ini dibutuhkan, karena kadang kala para pelaku carok memiliki ilmu kebal.
“Kalau nggak mempan sama celurit, perlu golok. Lawan saya nggak mempan pakai celurit, saya lawan pakai pisau,” terang Ibnu lagi.
Yang menarik, semua senjata yang akan digunakan dalam carok juga menjalani ritual tertentu. Misalnya dimandikan kembang tujuh rupa dan sebagainya. Kenapa lebih dominan menggunakan celurit, karena, bagi masyarakat Madura, senjata tajam melengkung itu simbol dari tulang rusuk pria bagian kiri yang hilang. Makanya kebanyakan orang Madura menyimpan celurit di pinggang sebelah kiri.
Setahu Ibnu, carok yang masih murni banyak dilakukan pada tahun 1960-an hingga 1970-an. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pergeseran nilai tradisi carok itu sendiri. Carok dahulu dilakukan bukan dengan landasan emosi semata, tapi ketulusan dalam mempertahankan sebuah harga diri.
Apa yang terjadi dalam duel dua lawan empat orang di Bangkalan dua pekan lalu, lanjut Ibnu, menunjukkan esensi caroknya bergeser dan tidak substantif. Artinya, duel yang dilakukan para pelaku dan korban lebih kepada bagaimana mereka ingin menunjukkan superioritas dalam pertarungan.
“Saya tidak men-judge (menghakimi) atau menuduh, tapi saya melihatnya seperti itu. Dan ini sudah bergeser dari nilai-nilai substantif carok yang sebenarnya,” tutur Ibnu lagi.
Sebenarnya, carok murni nyaris sudah tidak ada lagi di Madura, apalagi di era milenial saat ini. Diakui Ibnu, carok adalah romantisme masa lalu Madura. Oleh karena itu, menjadi pekerjaan rumah komunal semua kalangan untuk memberikan pencerahan.