Ada yang beda dengan cara Cynthia Suci Lestari mengedukasi followers-nya tentang minimalisme. Pendiri komunitas dan media Lyfe with Less ini tidak menekankan audiensnya untuk punya barang sesedikit mungkin, tidak pula mewajibkan punya barang-barang dengan warna seragam untuk mencapai kesan ‘minimalis’.
Prinsip tersebut juga tercermin di kediaman Cynthia. Tak ada yang beda dari tata letak dan perabotan di rumah Cynthia dengan rumah-rumah pada umumnya. Ruang tamu dengan sofa untuk menyambut tamu, meja kerja, dapur dengan alat masak yang lengkap, serta beberapa mainan dan keperluan anak. Bahkan, terdapat satu sudut di ruang tamu yang memperlihatkan koleksi jam tangan dan beberapa buku bacaan.
“Mbak, rumahku memang secara visual nggak yang minimalis banget, ya. Kalau tim Detikcom pengin yang visualnya minimalis banget, aku khawatir nggak sesuai ekspektasi,” ujar Cynthia sebelum wawancara dimulai.
Kekhawatiran Cynthia bukan tanpa sebab. Ia sadar betul, pemahaman setiap orang terhadap gaya hidup minimalisme bisa berbeda-beda. Hal ini mencakup anggapan minimalisme sebagai gaya hidup ekstrem, di mana seseorang bisa hidup dengan jumlah barang sesedikit mungkin. Ada pula yang memahami minimalisme sebagai estetika belaka: tampilan ‘sederhana’ dengan warna-warna monokrom atau warna bersaturasi rendah yang seragam.
Anggapan tersebut jauh berbeda dengan bagaimana Cynthia menjalani hidupnya. Sebagai seorang minimalis, ia tak mementingkan warna-warna seragam atau monokrom. Tempat tinggalnya tak terlihat kosong melompong. Ia juga masih menyisihkan penghasilannya untuk hiburan dan rekreasi.
Bagi Cynthia, minimalisme adalah soal bagaimana seseorang bijak dalam berkonsumsi. Untuk bijak dalam berkonsumsi, maka seseorang perlu mengurangi distraksi. Distraksi yang dimaksud dapat berupa keinginan-keinginan sesaat untuk membeli sesuatu, hingga rasa takut tertinggal tren.
Sejak mendirikan Lyfe With Less tahun 2018 silam, Cynthia aktif mengkampanyekan gerakan bijak berkonsumsi. Hal ini dinilainya lebih mudah dimengerti dan dijalani, sebelum mengedukasi lebih lanjut soal minimalisme. Lebih lanjut, Cynthia menekankan tiga prinsip: pakai yang ada, pakai sampai habis atau rusak, serta terapkan pola pikir ‘kualitas di atas kuantitas’.
Melalui prinsip tersebut, Cynthia bisa tetap menerapkan minimalisme dalam berbagai tahapan hidupnya. Mulai dari saat memutuskan menikah dengan non-minimalis, hingga saat anggota keluarganya bertambah sejak kelahiran kedua buah hatinya.
“Mungkin di kepala orang-orang, ada yang ngelihat minimalisme itu dengan barang yang sangat sedikit. Barang yang senada semua, gitu ya. Tapi bisa jadi berbeda ketika ngelihat minimalisme di orang yang mungkin punya anak satu, punya anak dua, punya anak tiga, gitu ya. Dan juga punya suami yang non-minimalis, itu pasti akan berbeda. Dan itu normal. Dan di situlah kita mesti coba untuk adaptasi biar bisa ke tujuan awal, mengadaptasi gaya hidup minimalis,” jelas Cynthia di program Sosok detikcom.
Cynthia mengakui bahwa tidak semua anggota keluarganya adalah minimalis. Sang suami, contohnya. Selain bukan minimalis, sang suami juga hobi mengoleksi arloji.
Meski demikian, bukan berarti prinsip minimalisme tidak bisa diterapkan dalam kehidupan pasangan ini. Sejak dulu, justru suami Cynthia yang membiasakan untuk tidak ‘lembiru’, atau ‘lempar dan beli baru’.
Ketika barang mengalami kerusakan, mereparasi sendiri bisa jadi opsi. Hal ini juga diterapkan pada arloji-arloji milik sang suami, serta barang lain di rumah Cynthia. Dengan demikian, kegiatan konsumsi bisa tetap ditekan dan sesuai dengan prinsip minimalisme.
Kehadiran kedua anak Cynthia juga mengharuskan ia menyesuaikan gaya hidupnya. Cynthia harus menerima kenyataan, bahwa bertambahnya anggota keluarga, bertambah pula jumlah konsumsinya. Meski demikian, prinsip bijak berkonsumsi tetap bisa ia terapkan.
“Misalnya, ada kebutuhan anak memiliki pakaian. Seberapa banyak pakaian yang harus dimiliki dan dibutuhkan sama anak? Apakah harus kita beli sebanyak mungkin karena anak pertama? Atau mungkin bisa kita batasi pakaiannya sesuai dengan konsep minimalis yang aku punya,” ujar Cynthia.
“Kemudian, mainan. Apakah harus beli mainan terus menerus untuk menyenangkan anak, kan nggak. Bisa jadi kita menerapkan toy rotation, atau membatasi mainannya dan lebih banyak cari experience di luar bareng sama keluarga. Jadi, inject value of minimalism meskipun mungkin barang-barangnya akan bertambah karena adanya anggota-anggota baru di keluarga,” lanjutnya.
Penyesuaian minimalisme ke berbagai kondisi inilah yang selalu disuarakan Cynthia di Lyfe with Less. Cynthia berpendapat bahwa minimalisme, bisa dijalani siapapun secara realistis. Sebab, bagi Cynthia, menjadi minimalis bukan berarti hidup seminimal mungkin, tapi sebijak mungkin.