Puan Soroti Kawin Tangkap di NTT, Dukung Aparat Usut Tuntas

Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti peristiwa kawin tangkap yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Puan menekankan bahwa perempuan berhak menentukan pilihannya, karena hal tersebut merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Dalam menentukan pasangan hidup, kaum perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Sehingga tidak boleh ada paksakan dari pihak manapun,” kata Puan, Senin (11/9/2023).

Puan memahami pentingnya menghargai keanekaragaman budaya di Indonesia, namun ia mengingatkan jangan sampai budaya mencederai hak-hak perempuan. Dia mengatakan harus ada solusi untuk tetap melestarikan budaya namun tidak juga melanggar hak asasi manusia.

“Harus ada solusi yang memadukan dua hal ini. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah berdialog dengan pemangku adat setempat dan masyarakat untuk mencari alternatif yang tidak melanggar hak asasi manusia,” tuturnya.

Puan mengingatkan, tradisi kawin tangkap pada praktiknya berpotensi melanggar hak perempuan. Selain itu juga menimbulkan kekerasan yang berlapis pada korban, hingga memicu dampak traumatis.

“Segala bentuk tindakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan pada perempuan yang mengatasnamakan budaya harus disikapi dengan bijak, untuk itu perlunya Pemerintah turun tangan memfasilitasi lewat pendekatan yang humanis,” sebut Puan.

Puan lalu menyinggung larangan perkawinan paksa yang telah diatur di UU TPKS. Dia menyebut pelaku yang terlibat dalam kawin tangkap dapat dipidana.

“Sekarang kita sudah memiliki UU TPKS yang mengatur adanya larangan perkawinan paksa. Aturan ini harus ditegakkan dan disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, terutama tokoh agama dan tokoh adat di daerah-daerah,” ujar mantan Menko PMK itu.

“Sehingga setiap pelaku yang terlibat pada kawin tangkap akan berurusan dengan hukum, karena melakukan pemaksaan perkawinan,” lanjut Puan.

Adapun larangan pemaksaan perkawinan tertuang dalam Pasal 10 UU TPKS dengan ancaman bagi pelaku penjara paling lama sembilan tahun , dan denda Rp 200 juta. Pasal tersebut berbunyi: (l) Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pada pasal itu turut diatur pemaksaan perkawinan termasuk dengan pemaksaan perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, atau pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.

“Jadi budaya kawin paksa ini merupakan hal yang melanggar undang-undang dan bisa dipidana,” ungkap Puan.

Puan mengatakan perlunya sosialisasi masif dari Pemerintah mengenai UU TPKS, khususnya Pemerintah Daerah (Pemda) yang wilayahnya memiliki budaya kawin paksa. Apalagi, kata Puan, mengingat budaya tersebut telah berlangsung lama.

“Saya juga mendukung langkah aparat penegak hukum yang cepat tanggap dengan mengusut kasus kawin tangkap di Sumba Barat Daya,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *