Ketua Umum (Ketum) Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pemikirannya soal kemungkinan hanya muncul satu pasangan calon (paslon) di Pilpres 2024. Yusril mempersoalkan pemberlakuan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold atau PT) sebesar 20 persen. Ada apa di balik pemikiran ini?
Yusril mewanti-wanti kemungkinan hanya ada satu paslon hingga masa pendaftaran di KPU pada Oktober nanti. Apabila hal itu terjadi dan dianggap menimbulkan kegentingan yang memaksa, Yusril menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat mengatasinya dengan menerbitkan perpu.
Namun, Yusril menekankan perpu itu bukan untuk mengatur bagaimana melaksanakan pilpres yang hanya ada satu pasangan calon, melainkan menerbitkan perpu yang membatalkan presidential threshold 20 persen itu menjadi nol persen.
Lalu, apakah mungkin apa yang diwanti-wanti Yusril ini bisa terjadi di Pemilu 2024?
“Ya saya kan sebetulnya ikut dalam diskusi-diskusi dalam kelompok koalisi maupun nonkoalisi. Ya pembicaraan-pembicaraan seperti itu ada. Apalagi ada tekanan-tekanan kan, kemudian kesulitan untuk menyelesaikan permasalahan ini,” kata Yusril saat dihubungi, Rabu (30/8/2023).
Guru Besar Hukum Tata Negara ini menyoroti sosok bacapres potensial selama ini hanya ada dua nama yang bisa dikatakan telah memenuhi syarat PT. Mereka adalah bacapres PDIP dan partai pengusung, Ganjar Pranowo, dan bacapres Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto. Menurutnya, permasalahan pencalonan yang mensyaratkan pemenuhan PT bisa membawa kontestasi pemilu pada kondisi buruk.
“Nah apalagi misalnya ternyata yang mau di-threshold 20%, itu hanya dua pasangan yang potensial,” kata Yusril.
“Krusial masalah ini. Kita ini orang hukum tata negara. Kita mengantisipasi keadaan paling buruk yang bisa terjadi,” imbuhnya.
Yusril lalu menceritakan pernah menulis cara agar Presiden Soeharto punya landasan konstitusional untuk berhenti dari jabatannya di tengah krisis moneter 1998. Dia meminta Soeharto harus menyatakan mundur dari jabatannya secara sepihak, bukan dalam sidang MPR.
“Anda bisa bayangkan nggak, kalau saya tidak menulis tentang gimana caranya Pak Harto terpaksa harus turun. Itu kan waktu saya menulis itu orang akan ketawa, bertanya itu apa maksudnya. Tapi kan saat itu Pak Harto akhirnya mundur. Saat itu Pak Harto menyatakan berhenti secara sepihak. Hanya berapa lama Pak Habibie diangkat sumpahnya,” cerita Yusril.
Yusril mengaku pernah dipertanyakan oleh eks Gubernur DKI Ali Sadikin soal tulisannya itu. Dia menilai tak ada cara lain dalam situasi darurat kala itu.
“Waktu itu kan saya debat panjang dengan Pak Ali Sadikin kan. Pak Ali Sadikin bilang, ‘Ril, ngapain kamu bikin Pak Harto berhentikan’. Saya bilang, ini saya harus bikin jalan keluar dari kesulitan krusial negeri ini. Harus berhenti di hadapan MPR. Karena gimana mau sidang MPR, MPR aja lagi diduduki mahasiswa,” katanya.
Yusril memandang, tak mungkin menyarankan Soeharto menyerahkan pemberhentian jabatannya pada sidang MPR. Lantaran, menurutnya, posisi politik Soeharto masih begitu kuat kala itu, termasuk di MPR.
“Andai pun MPR bisa sidang, terus Pak Harto saya bikin di pidato, ‘Majelis permusyawaratan yang saya muliakan, saya mohon saya mau berhenti dari jabatan saya’. Terus MPR bilang jangan. Terus mau ngapain, he-he-he…,” katanya.
“Loh, Pak Harto itu waktu itu masih kuat loh. TNI Polri masih ada di MPR, Golkar masih ada, utusan daerah, utusan golongan masih ada. ‘Oh jangan, Pak Harto. Ini negara masih krisis. Bapak jangan mundur’. Makin panjang urusannya,” lanjut dia.