Kertas-kertas itu menutupi sebagian meja kerjanya. Dengan cermat ia meneliti goresan-goresan pena. Kata demi kata, huruf demi huruf, coretan, simbol, hingga titik tak lepas dari pandangannya. Bak guru yang memeriksa pekerjaan muridnya, sesekali tinta merahnya membentuk pola seperti tanda khas untuk bagian-bagian yang menurutnya menarik atau sekedar beda dari yang lainnya.
Tulisan-tulisan itu terlihat biasa saja, namun bagi Tessa Ayuningtyas Sugito, setiap goresan menyimpan banyak informasi rahasia, yang bahkan tidak diketahui oleh penulisnya. Sebagai seorang grafolog, tulisan tangan bisa menjadi barang bukti atau kotak pandora yang siap dibuka isinya.
“Ini sample tulisan dari perusahaan-perusahaan untuk keperluan rekrutmen,” jelas Tessa sambil melanjutkan kegiatannya menganalisa tumpukan kertas di hadapannya.
Mempelajari grafologi memungkinkan Tessa untuk menganalisa kepribadian, kesehatan emosi dan fisik, serta pola pikir dari tulisan tangan seseorang. Selama lebih dari tujuh tahun, Tessa telah menelaah lebih dari lima ribu tulisan tangan untuk berbagai keperluan: rekrutmen perusahaan, konsultasi keluarga, hingga konsultasi asmara.
Keputusan Tessa untuk belajar grafologi bukannya tanpa alasan. Mulanya ia hanya penasaran, ingin mempelajari ilmu yang memungkinkan ia menganalisa karakter manusia. Hal ini dilakukan sebab Tessa ingin lebih mengenal calon karyawan untuk rekrutmen restoran keluarganya.
“Industri F&B (Food and Beverages) ini bisa dibilang rata-rata turnover karyawannya cukup tinggi. Dulu saya punya banyak masalah itu lebih dalam arti mungkin salah menempatkan juga gitu kan. Jadi ya udahlah, asal, asal menerima yang mau kerja. Ternyata akhirnya bermasalah. Jadi, tujuan awal belajar grafologi ya sebenarnya karena kebutuhan pribadi untuk mengelola perusahaan,” terang Tessa di program Sosok, Senin (7/8).
Namun, lebih dari mengenal calon karyawan baru, Tessa mula-mula justru jadi lebih mengenal dirinya sendiri. Melalui grafologi, Tessa bisa menganalisa karakteristik pribadinya, sehingga bisa lebih bijak dalam menjalani peran sebagai pimpinan bagi para karyawannya.
“Jujur aku sangat temperamental. Karena, aku jujur, evaluasi diri sangat temperamental. Apakah mungkin karyawan nggak betah karena saya suka marah-marah, gitu kan. Dan ternyata sebenarnya secara medis, karena ada ketidakseimbangan hormon. Waktu itu kan belum tahu,” jelas Tessa.
Sesuai dengan ekspektasi Tessa, sejak menggunakan grafologi untuk merekrut karyawan, dinamika di restoran Tessa jadi lebih terjaga. Tessa mengaku, hubungan antar karyawan lebih harmonis. Selain itu, Tessa juga lebih bisa memprediksi potensi konflik, sehingga resolusi dari masalah bisa dilakukan dengan lebih bijak.
“Ketika ada pegawai yang problematik, akhirnya ya saya udah nggak kaget lagi. Jadi, tidak terlalu memusingkan hal-hal yang tidak perlu dipusingkan. Lalu juga tentu aja terutama mungkin dari tulisan-tulisan awal yang memang udah kelihatan problematik ya saya juga udahlah, nggak usah diterima. Jadi ya balik lagi, keywords-nya itu managing expectation ya. Terus, selain itu juga, komunikasi antar karyawan pun jadi lebih harmonis,” ujar Tessa.
Tessa mengaku senang dengan okupasinya sebagai grafolog. Ia memang gemar bertemu orang baru, terlebih lagi jika punya kesempatan untuk membantu para klien.
Namun, profesi ini juga membuat Tessa menyaksikan hal-hal yang membuat hatinya teriris. Misalnya, saat Tessa menganalisa tulisan anak-anak yang memiliki tendensi depresi.
“Yang sering membuat saya sedih itu sebenarnya ketika konseling dari anak-anak. Anak dari seorang kenalan, usia anak itu masih 8 tahun. Tapi ciri-ciri keinginan untuk mengakhiri hidup itu sudah ada dari tulisan tangan. Jadi, keinginan untuk dalam arti depresi, suicidal, itu kan kita juga bisa cek, terbaca sekali kok dari tulisan tangan. Dan itu masih seumur segitu itu, masalahnya apa? Yang pasti, ada di keluarga itu,” kenang Tessa.
Fenomena ini menyadarkan Tessa akan pentingnya keterlibatan orang tua dalam memahami kondisi mental anak. Oleh karena itu, sebagai grafolog, Tessa ingin orang tua juga mulai mempelajari grafologi, meski tidak secara profesional. Tujuannya sederhana, agar orang tua memahami kondisi anak, bahkan di kala sang anak tak bisa bercerita.
“Saya pribadi ya terus akan edukasi tentang grafologi. Grafologi ini bukan hanya dipakai untuk kasus-kasus besar. Tapi kita mulailah dulu dari kasus keluarga. Kita bisa mengedukasi orang tua untuk setidaknya belajarlah sedikit, tentang dasar grafologi. Supaya kita bisa melihat kondisi kejiwaan dan kondisi emosi anak kita. Jangan sampai terlambat,” jelas Tessa.