Hanya beberapa menit usai koalisi pemerintahan nasionalis religius Israel meloloskan amandemen yudisial pada 24 Juli lalu, Menteri Kehakiman Yariv Levi, yang menjadi arsitek legislasi tersebut, terlihat berpose untuk swafoto sembari tertawa bersama anggota lain di parlemen Israel, Knesset.
“Mereka sedang pamer,” kata Moran Zer Katzenstein, bekas pegawai swasta yang kini menjadi pegiat pro-demokrasi.
“Perombakan yudisial bersandar pada empat pilar dan masing-masing menggerogoti kewenangan Mahkamah Agung dan hak kami sebagai perempuan,” kata dia. “Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi.”
Lolos di tahap pertama
Pemungutan suara di Knesset pada 24 Juli lalu itu meloloskan amandemen Hukum Dasar yang mencabut kekuasaan MA untuk membatalkan kebijakan atau nominasi pejabat pemerintah yang dianggap “tidak beralasan.”
Langkah ini bernilai signifikan. Karena Israel tidak memiliki Undang-Undang Dasar, Mahkamah Agung sekaligus berfungsi sebagai penggawa konstitusi.
Aksi protes besar-besaran oleh kelompok pro-demokrasi ikut memicu aktivisme simpatisan partai pemerintah. Berbagai jajak pendapat usai pencoblosan 24 Juli di Israel menyimpulkan perpecahan antara sekitar 50 persen yang menolak dan 33,7 persen mendukung reformasi yudisial. Adapun 15 persen responden menolak mengambil sikap jelas.
Reformasi yudisial bukan satu-satunya titik api dalam politik Israel. Rencana pemerintah untuk menganeksasi Tepi Barat Yordan juga diyakini akan memicu aksi protes oposisi kiri, yang menuntut evaluasi terhadap praktik pendudukan di wilayah Palestina.
Dialog membisu
Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi AS, CNN, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan, Israel berpotensi memasuki “wilayah abu-abu,” di mana Mahkamah Agung merasa berwenang untuk membatalkan UU Yudisial yang baru.
Dia menolak menjawab apakah pemerintahannya akan tunduk pada putusan semacam itu.
Netanyahu menawarkan dialog dengan oposisi untuk memperluas konsensus sebelum pengambilan keputusan. Sejumlah analis meyakini langkah reformasi akan memudahkan Netanyahu menggugurkan dakwaan terhadapnya terkait dugaan penyuapan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun kelompok oposisi mengatakan mereka tidak lagi bisa mempercayai tawaran dialog oleh Netanyahu, karena selama ini tidak membuahkan hasil kongkrit. Sebaliknya, aksi protes di jalan raya dilihat sebagai satu-satunya instrumen politik yang mampu menekan pemerintah.
“Saya kira kita akan melihat banyak aksi protes,” kata Yaron Kramer dari sebuah organisasi yang mewadahi pasukan cadangan militer Israel, Brothers and Sisters in Arms. “Sebuah pemerintahan yang mengabaikan tanda darurat dari sebegitu banyak orang harus menghadapi konsekuensinya.”
“Saya meyakini, tanda darurat dari kami pada akhirnya akan didengar, jika bukan besok, maka minggu depan.”