Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) mengizinkan pernikahan pasangan beda agama Buddha dan Katolik. Penetapan ini diketok sebelum Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang melarang hakim mengizinkan nikah beda agama.
Penetapan itu tertuang dalam salinan yang dilansir websitenya, Jumat (28/7/2023). Disebutkan mempelai pria, W beragama Budha dan tinggal di Duren Sawit, Jaktim. Sedangkan mempelai perempuan, KWK, beragama Katolik. Keduanya telah menikah secara Katolik di sebuah gereja di Jakarta Pusat pada Oktober 2022.
Saat hendak mencatatkan ke negara, Dukcapil menolak karena belum ada penetapan dari Pengadilan. Alhasil, keduanya mengajukan permohonan ke PN Jaktim agar mendapatkan izin dan dikabulkan.
“Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk mendaftarkan/mencatatkan Surat Perkawinan Para Pemohon tanggal tanggal 29 Oktober 2022, surat Testimonium Matrimonii Buku VII Hal 062 No.430 pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jakarta Timur,” demikian bunyi penetapan hakim tunggal Doddy Hendrasakti.
Doddy Hendrasakti menyebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak diatur kalau calon suami dan calon isteri yang memiliki keyakinan agama berbeda merupakan larangan perkawinan atau dengan kata lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidaklah melarang terjadinya perkawinan diantara mereka yang berbeda agama. Selain itu berdasarkan pasal 28B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
“Di mana ketentuan ini pun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap Warga Negara untuk memeluk agamanya masing-masing,” ucap Doddy Hendrasakti.
Doddy Hendrasakti menegaskan, oleh karena pada dasarnya keinginan Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan dengan berbeda agama tidaklah merupakan larangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Dan mengingat pembentukan suatu rumah tangga melalui perkawinan adalah merupakan Hak Asasi para pemohon sebagai Warga Negara serta Hak Asasi Para Pemohon untuk tetap mempertahankan agamanya masing-masing, maka ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan, apabila dilakukan menurut tata cara agama atau kepercayaan yang dianuut oleh calon pasangan suami istri, hal ini tidak mungkin dilakukan para pemohon yang memiliki perbedaan agama.
“Pengadilan dalam hal ini, tidak dalam posisi untuk menilai apakah perkawinan yang sudah dilansungkan di gereja tersebut sah atau tidak. Tetapi berdasarkan pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, undang undang memberi wewenang kepada Pengadilan,” tegas Doddy.
Namun Doddy dan para hakim lainnya kini dilarang MA untuk menetapkan hal serupa. Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. SEMA 2/2023 itu ditandatangani oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin.
Berikut isi SEMA itu:
Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umar beragama yang berbera agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umar beragama yang berbera agama dan kepercayaan.