Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berperan penting dalam demokrasi Indonesia. Selama dua puluh tahun atau dua dekade ini, Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai konsisten menjaga nadi reformasi dan siklus suksesi di Indonesia.
Nadi reformasi yang dimaksud adalah pembatasan suksesi yang dilatarbelakangi Presiden ke-2 RI Soeharto yang bisa menjabat hingga 32 tahun. Pangkalnya, karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) tidak mengatur tegas periode jabatan presiden. Pasal 7 UUD 1945 kala itu memperbolehkan presiden dan wakil presiden untuk dapat dipilih kembali.
Berikut bunyi Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen:
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Dengan pasal di atas, Soeharto melakukan berbagai manuver politik sehingga bisa menguasai mayoritas parlemen dan mendukungnya menjadi presiden berkali-kali. Gelombang reformasi kemudian menuntut pembatasan kekuasaan presiden dan Pasal 7 UUD 1945 menjadi salah satu pasal yang pertama kali diamandemen dan diubah.
Berikut bunyi Pasal 7 UUD 1945 setelah amandemen:
Presiden dan Wakil Presiden menjabat selama lima tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali dalam satu jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Kembali ke konsistensi Mahkamah Konstitusi, Direktur Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN), Oce Madril, menyebut hal itu terlihat dari putusan para Hakim Konstitusi terhadap permohonan uji materi terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden. Mahkamah Konstitusi disebutnya dengan tegas terus menolak memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden.
“Menurut saya MK sangat tegas dalam putusannya menjaga konsistensi masa jabatan presiden dan wakil presiden sesuai konstitusi, termasuk pembatasan masa jabatan yang hanya dua kali berturut-turut atau tidak berturut-turut,” kata Oce kepada wartawan, Jumat (21/7/2023).
Berdasarkan catatan bukan sekali dua kali pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang merupakan amanah konstitusi dan reformasi itu diuji materi. Tahun ini saja, ada tiga permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga gawang konstitusi secara tegas menolak seluruh permohonan yang diajukan.
“MK sebelumnya memutuskan permohonan yang diajukan Partai Berkarya dalam Putusan Nomor 117/PUU-XX/2022. Partai Berkarya menguji ketentuan syarat presiden/wapres dalam UU Pemilu berkenaan dengan pembatasan masa jabatan selama dua kali masa jabatan bagi presiden/wapres. MK dengan tegas menolak permohonan tersebut dengan menyandarkan pada Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi presiden dan wakil presiden memegang masa jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan,” tutur Oce.
Keteguhan para hakim konstitusi itu, menurut Oce, menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak gentar menjaga semangat reformasi. Sikap Mahkamah Konstitusi itu dinilainya juga menunjukkan bahwa lembaga peradilan itu ingin terus menjaga agar sirkulasi dan pergantian kepemimpinan nasional berjalan tanpa sumbatan dan terhindar dari jebakan kekuasaan.
“Putusan MK tersebut menunjukkan keteguhan sikap MK untuk menjaga semangat reformasi konstitusional yang salah satu intinya adalah pembatasan kekuasaan. Putusan MK tersebut sangat penting bagi sistem pemerintahan presidensial yang telah dipilih oleh konstitusi,” kata akademisi hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Hal senada disampaikan Ahli hukum tata negara Universitas Udayana, Bali, Jimmy Usfunan. Menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi mengenai masa jabatan presiden dan wakil presiden sejalan dengan suasana kebatinan reformasi.
“Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan konsistensinya terhadap semangat pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, yang merupakan kehendak reformasi sebagai bentuk pengalaman bangsa,” kata Jimmy.
Jimmy menjelaskan, putusan itu juga menunjukkan bahwa MK tidak hanya menggunakan interpretasi doktrinal yang menerapkan potong sayapnya dengan mengacu putusan sebelumnya dan interpretasi historis yang melihat gagasan asli pembentuk UUD.
Namun, Mahkamah Konstitusi menurutnya juga menggunakan interpretasi responsif yang mempertimbangkan seluruh pengalaman kebangsaan yang telah dilalui terhadap perkembangan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden.
“Mahkamah Konstitusi tidak mau terjebak untuk mengambil putusan yang secara jelas dan nyata telah dibatasi oleh Konstitusi,” ujarnya.
Jimmy juga menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang terus menolak untuk mengubah masa jabatan presiden dan wakil presiden menunjukkan bahwa para hakim konstitusi bersikap independen dan imparsial. Putusan itu disebutnya menunjukkan sikap negarawan para hakim konstitusi.
“Putusan tersebut menunjukkan Mahkamah Konstitusi bersikap independen dan imparsial. Mahkamah Konstitusi menunjukkan sikapnya yang profesional dan negarawan dalam memutuskan perkara,” jelas Jimmy.