Menjaga produktivitas pertanian menjadi perhatian banyak negara. Bahkan hampir setiap negara sedang mengamankan stok pangan mereka di tengah ancaman krisis pangan yang terjadi seperti saat ini.
Dikutip dari website Lemhanas, krisis pangan, energi, keuangan dengan cepat menjadi bagian dari realitas. Apalagi perang Rusia dan Ukraina memberikan pengaruh negatif cukup besar terhadap rantai pasok pangan dan energi global. Dampak dari hal tersebut yakni meroketnya harga pangan dan energi tidak dapat dihindari akibat perang.
Sementara itu, data World Food Programme (2022) menyebutkan jumlah penduduk yang mengalami kerawanan pangan di Asia Pasifik terbagi dalam empat fase yakni Pra Pandemi COVID-19 (awal 2020), Pandemi COVID-19 (akhir 2020), Puncak Pandemi COVID-19 (2021), dan Pasca Pandemi COVID-19 (2022).
Secara angka dari tahun ke tahun jumlah penduduk yang mengalami kerawanan pangan di Kawasan Asia Pasifik terus mengalami peningkatan. Adapun detailnya sebagai berikut Pra Pandemi COVID-19 (awal 2020) sebanyak 27,6 juta orang, Pandemi COVID-19 (akhir 2020) 54 juta orang, Puncak Pandemi COVID-19 (2021) 62,1 juta orang, dan Pasca Pandemi COVID-19 (2022) 69,5 juta orang. Khusus untuk data 2022, World Food Programme mencatat peningkatan tersebut turut dipengaruhi oleh efek riak dari perang Rusia dan Ukraina.
Untuk itu, sejumlah pihak mulai dari lembaga, kementerian, hingga swasta pun harus turut serta dalam mengatasi krisis pangan lewat menjaga produktivitas pertanian dalam negeri.
Menyadari pentingnya hal tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) mengadakan Sensus Pertanian 2023 (ST2023) untuk mengetahui lanskap kondisi pertanian di Indonesia secara presisi. Data yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan sektor pertanian Tanah Air.
Tak hanya itu, menjaga produktivitas pertanian dalam negeri juga merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Pasalnya, pasca pandemi, BPS mencatat pertumbuhan sektor pertanian Indonesia masih belum pulih (c to c,%)
Hal itu terlihat dari data periode 2017 – 2019 pertumbuhan sektor pertanian Tanah Air berada di angka rata-rata di atas 3,5%. Namun saat pandemi menyerang hingga mereda, pertumbuhan hanya 1,77 % (2020), 1,87 % (2021), dan 2,25% (2022).
“Yang penting untuk pertanian adalah transformasi sistem pangan dan pertanian lebih inovatif, berdaya saing, tangguh dan berkelanjutan. Nah untuk menjawab tantangan tersebut tentu perlu data makanya sensus pertanian ini luar biasa bahkan presiden menuntut bisa tidak 5 tahun sekali,” kata Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik M Habibullah dikutip dari Antaranews, Jumat (20/7/2023).
ST2023 juga penting penting untuk dilakukan karena pertanian Tanah Air memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Hal itu terlihat dari adanya petani muda yang melek teknologi serta diimbangi dengan jumlah penduduk usia produktif yang mencapai 70,72%.
Faktor lainnya yakni keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia menjadi potensi tersendiri yang bisa dikembangkan. Serta kondisi agroklimat yang sangat mendukung seperti curah hujan dan energi matahari melimpah.
Belum lagi potensi lahan pertanian dan sumber daya kelautan sangat besar. Indonesia memiliki daratan mencapai 1,9 juta km2 dan luas wilayah perairan mencapai 6,3 juta km2.
Tak hanya itu, ST 2023 juga bisa bermanfaat untuk mendukung produktivitas pertanian karena mampu menghasilkan sejumlah data antara lain pelaku usaha pertanian, potensi gagal panen, volume & nilai produksi komoditas pertanian, lahan pertanian, struktur demografi petani, penggunaan pupuk, pendapatan jasa pertanian, penggunaan bibit rekayasa genetika, geospasial statistik pertanian, penerapan teknologi modern, akses keuangan, dan lainnya.
Beragam data yang dihasilkan ST 2023 tentu bisa dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk bersama menggenjot pertumbuhan sektor pertanian dalam negeri. Serta secara gotong royong bersama mengatasi ancaman krisis pangan yang sedang terjadi secara global.