Slamet mengatakan setiap mata bagian kuliah kedokteran sejauh ini selalu menyelipkan materi etik sebagai dasar tindakan. Dalam masa pendidikan, para calon dokter juga selalu diingatkan profesi kedokteran adalah profesi mulia yang dibatasi oleh sumpah dokter serta etika profesi.
“Karena dokter itu kan manusia kan, punya nafsu, punya apa kan, tapi dalam melaksanakan profesinya dia harus suci seperti malaikat. Makanya kode etik itu selalu diingatkan, gitu loh,” terang Slamet kepada detikX melalui sambungan telepon.
Meski demikian, Slamet sepakat jika dikatakan tata kelola rumah fasilitas kesehatan dan pengawasan terhadap tenaga medis menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual di ranah medis. Negara dan faskes yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pengawasan sekaligus pembinaan terhadap tenaga medis.
Problemnya, kata Slamet, sumber daya manusia (SDM) dari pemerintah maupun faskes masih amat sedikit, sehingga nyaris mustahil untuk mengawasi sedemikian banyak dokter. Di IDI saja, kini sudah ada sekitar 207.847 dokter yang tersebar di 514 kabupaten/kota. Belum lagi di organisasi profesi dokter lainnya.
Dulu, kata Slamet, IDI juga ikut bertanggung jawab terhadap pengawasan tenaga medis. Namun, setelah diterbitkannya Undang-Undang 17 Tahun 2023, kewenangan itu dicabut. IDI tengah mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi terkait aturan tersebut.
“Saya khawatir terjadi kelonggaran pengawasan terhadap praktik kedokteran yang kurang baik sehingga masyarakat terancam,” terang lulusan Pendidikan Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat UI ini.
Di sisi lain, beban kerja dokter dan mahasiswa PPDS yang amat berat juga berpotensi menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual di ranah medis. Sebab itu, menurut Slamet, penting juga untuk dilakukan evaluasi terhadap beban kerja ini.