Jakarta –
Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) yang disahkan DPR menjadi prolegnas priotitas 2025. Koalisi menyebut revisi itu berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI.
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
“Pada hari Kamis, 13 Februari 2025 Presiden Prabowo Subianto mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI untuk Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI). Berdasarkan Rancangan Revisi UU TNI 2024 yang diperoleh oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (Koalisi RSK) terdapat beberapa perubahan yang akan mengembalikan peran dan fungsi sosial dan politik TNI seperti pada saat TNI menjadi tulang punggu pemerintahan Orde Baru,” kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan pers tertulisnya, Jumat (21/2/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koalisi menekankan perubahan tersebut dapat memperluas penempatan TNI di kementerian dan juga lembaga, serta perpanjangan masa pensiun prajurit. Koalisi memandang terdapat tiga usulan perubahan yang bermasalah yaitu adanya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif hingga penambahan usia pensiun prajurit TNI.
“Koalisi memandang, Perubahan Pasal 47 Ayat (2) ini sebenarnya tak lain merupakan upaya Prabowo untuk melegitimasi penempatan TNI aktif yang sudah dilakukannya secara tidak sah dan bertentangan dengan UU TNI sejak awal Pemerintahannya berlangsung, misalnya dalam penempatan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet dan Mayjen TNI Novi Helmy sebagai Direktur Utama Perum Bulog,” kata Koalisi Masyarakat Sipil.
“Parahnya, ketimbang melakukan evaluasi dengan mengacu kepada UU TNI, dalam konteks penempatan pada posisi Seskab, pemerintah justru melakukan akrobatik hukum dengan melakukan perubahan regulasi terkait struktur Seskab,” imbuhnya.
Koalisi mengatakan sebelumnya dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2020 tentang Sekretariat Kabinet, Pasal 1 ayat (1) mengatur bahwa Sekretariat Kabinet berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Struktur ini kemudian diubah melalui Pepres No. 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara karena dalam Pasal 48 ayat (1) Perpres a quo, Sekretaris Kabinet disebutkan menjadi bagian dari Sekretariat Militer Presiden.
Koalisi mencatat terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023, di mana 29 prajurit di antaranya merupakan perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh UU TNI. Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait.
“Selain itu, perubahan ini juga dapat menjadi legitimasi kebijakan keliru dalam pelibatan dan mobilisasi TNI dalam menjalankan program-program Pemerintahan Prabowo dalam urusan sipil dan domestik, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Distribusi Gas Elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan bahkan sampai pengelolaan ibadah haji. Koalisi menilai, kebijakan tersebut dapat membuat TNI berhadapan secara langsung dengan masyarakat lokal dan adat serta berisiko menimbulkan pelanggaran HAM,” kata Koalisi.
“Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara bukan hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri. Profesionalisme dibangun dengan cara meletakkan TNI dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan merupakan kompetensinya,” imbuhnya.
Tak hanya itu, kata Koalisi, dampak lain dari penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil dan urusan sipil-domestik adalah mengenai akuntabilitas dan transparansi. Koalisi menilai sampai dengan saat ini tidak ada satu cabang kekuasaan atau lembaga apapun yang dapat mengawasi TNI secara efektif, sekalipun itu DPR RI.
“Selain itu kebijakan seperti ini juga dapat membuat hubungan sipil-militer menjadi tegang karena perubahan ini akan merusak pola organisasi, jenjang karir atau kebijakan dan manajemen ASN karena ceruk Prajurit TNI untuk mengambil alih semua jabatan sipil yang tersedia semakin luas,” tutur Koalisi.
Penambahan Usia Prajurit
Koalisi menilai usulan penambahan usia prajurit dari 58 tahun menjadi 60 tahun untuk perwira, serta dari 53 tahun menjadi 58 tahun untuk bintara dan tamtama akan memicu inefisiensi pada tubuh TNI. Mereka menyebut kondisi tersebut akan melanggengkan masalah klasik di mana adanya penumpukan (surplus) perwira TNI non-job.
“Usulan tersebut akan memicu inefisiensi pada tubuh TNI, dapat menambah beban anggaran di sektor pertahanan, menghambat regenerasi, serta membuat macet jenjang karir dan kepangkatan. Kondisi tersebut akan melanggengkan masalah klasik dimana adanya penumpukan (surplus) perwira TNI non-job. Alih-alih melakukan kebijakan percepatan pensiun terhadap perwira TNI non-job perubahan usia pensiun ini juga akan berpotensi mengkaryakan mereka di luar instansi militer seperti pada jabatan sipil dan urusan sipil-domestik lainya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,” ujar Koalisi.
Upaya Politisasi Militer
Koalisi menyoroti adanya upaya politisasi militer yang tertuang dalam Pasal 53 Ayat (3), yang memungkinkan perpanjangan masa jabatan bagi perwira tinggi bintang empat berdasarkan keputusan Presiden. Mereka menyebut hal itu yang akan membuat perwira tinggi bintang empat tersebut rentan digunakan dalam agenda politik kekuasaan yang berfungsi kembalinya dwifungsi ABRI.
“Jika revisi ini tetap dijalankan, maka Indonesia akan menghadapi ancaman kembalinya Dwifungsi ABRI dalam politik dan pemerintahan, yang bertentangan dengan cita-cita reformasi,” kata Koalisi.
Atas hal-hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah untuk menghentikan pembahasan revisi UU TNI. Mereka menegaskan seharusnya DPR dan pemerintah fokus mendorong agenda reformasi TNI yang mengalami regresi.
“Kami Koalisi RSK mendesak Pemerintah untuk menghentikan pembahasan revisi UU TNI. Seharusnya DPR dan Pemerintah tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI dan memfokuskan pada mendorong agenda reformasi TNI yang mengalami regresi, membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI, serta membangun sistem pengawasan internal dan eksternal terhadap TNI yang efektif, akuntabilitas dan transparan,” tutur Koalisi Masyarakat Sipil.
(whn/imk)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu