Kisah Kota Takikawa Jepang Melawan Sepi di Tengah Krisis Depopulasi


Takikawa

Fenomena penurunan jumlah penduduk atau depopulasi masif terjadi di seluruh kota di Jepang, termasuk di Takikawa, sebuah kota kecil di Prefektur Hokkaido. Rencana komprehensif pembangunan kota pun dirancang pemerintah setempat demi mengatasi kuantitas warga yang semakin menyusut.

detikcom berkesempatan mengunjungi Kota Takikawa, Hokkaido, dalam rangkaian program Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths (Jenesys) yang berlangsung pada 28 Januari hingga 4 Februari 2025. Di hari pertama kunjungan, kami mendapatkan penjelasan dari pemerintah kota Takikawa mengenai rencana komprehensif pembangunan kota termasuk penanganan depopulasi di Jepang.

Berdasarkan data per November 2024, jumlah penduduk Takikawa mencapai sebanyak 36.582 orang dengan laki-laki sebanyak 17.342 orang, perempuan sebanyak 19.240 orang dan jumlah rumah tangga sebanyak 20.670. Adapun usia rata-rata pria berkisar di angka 49,44 tahun dan perempuan berkisar di angka 54,84 tahun.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Takikawa, Hokkaido JepangJalanan di Takikawa Jepang (Foto: Vino/detikcom)

Yang paling mengkhawatirkan adalah jumlah usia 65 tahun ke atas yang cukup banyak dengan presentase 36,5% dari total penduduk atau sekitar 13.363 orang. Sementara itu, angka perempuan di usia tersebut lebih dominan sebanyak 7.953 orang dan laki-laki 5.410 orang.

Jumlah penduduk di Kota Takikawa itu menyusut signifikan jika dibandingkan populasi pada era 80-an yang sempat mencatatkan jumlah tertinggi di angka 52.004 orang. Bahkan jumlah populasi penduduk tersebut diprediksi masih terus menurun dalam beberapa tahun ke depan jika tak terjadi upaya penanganan yang signifikan.

Gambaran mengenai jumlah penduduk yang menyusut itu juga terlihat dalam data transisi jumlah siswa yang belajar di SD, SMP maupun SMA di Takikawa yang menurun drastis sekitar 50 persen. Bahkan menurut penjelasan Pemerintah Kota Takikawa, sekolah di beberapa daerah ada yang tutup lantaran sedikitnya peserta didik.

Apa yang Terjadi?

Makoto Kamazuka selaku pejabat di Departemen Urusan Umum Pemerintah Kota Takikawa menjelaskan masalah depopulasi di Jepang ini terjadi karena tingkat kelahiran anak yang terus semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal itu disebabakan oleh banyaknya generasi muda yang enggan menikah.

“Di Jepang (masih menganut), sebelum melahirkankan anak, pasangan suami istri harus menikah dulu. Akan tetapi semakin banyak orang Jepang tidak berminat menikah juga sehingga jumlah anak semakin menurun,” kata Kamazuka.

Takikawa, Hokkaido JepangMakoto Kamazuka di depan laptop (Foto: Vino/detikcom)

Salah satu faktor yang mendasari generasi muda ogah menikah karena tekanan sosial dan situasi ekonomi. Banyak dari kaum muda di Jepang yang berpikir bahwa penghasilan yang mereka peroleh saat ini tidak akan mampu membiayai keluarga mereka di masa depan.

“Jika gaji profesi tidak cukup, tentu saja tidak mampu membiayai keluarga. Apalagi yang punya anak, biaya pendidikan sudah cukup tinggi, jadi generasi muda enggan menikah, berkeluarga, karena gaji tidak cukup,” ujar Kamazuka.

Di sisi lain, muncul juga fenomena banyaknya warga Takikawa yang berpindah ke kota lain. Sebagai contoh, pada tahun 2021 saja, sekitar 1.940 penduduk meninggalkan Takikawa, dengan mayoritas pindah ke Sapporo. Selain itu, banyak dari mereka yang pindah berusia 25-44 tahun, termasuk juga anak-anak berusia 0-14 tahun. Sebagian besar keluarga ini berpindah sebelum anak-anak mereka memasuki usia sekolah.

Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Kota Takikawa telah menetapkan beberapa rencana komprehensif. Pemerintah Takikawa berupaya menciptakan lingkungan yang nyaman bagi keluarga untuk membesarkan anak di setiap tahapan, mulai dari kehamilan, persalinan, hingga pengasuhan. Selain itu, pemerintah juga berfokus pada peningkatan fasilitas pendidikan agar lebih mudah diakses oleh warga.

Mengingat tingginya jumlah penduduk lansia, pemerintah Takikawa juga berkomitmen untuk menciptakan kota dengan masyarakat yang sehat, baik secara fisik maupun mental. Komunitas dan lingkungan dijaga agar tetap ramah bagi semua kelompok usia, bebas dari kejahatan, serta memiliki fasilitas yang mendukung kesejahteraan warganya.

Pemerintah Takikawa juga menargetkan pembangunan kota dengan industri yang aktif dan menarik, sehingga mampu menarik lebih banyak orang untuk tinggal dan bekerja di Takikawa. Terakhir, Pemerintah Takikawa bertekad untuk melindungi daerah pertanian, menyelaraskan perkembangan perkotaan dan pedesaan, serta memastikan transportasi umum terpelihara dengan baik dan fasilitas publik terus ditata ulang untuk meningkatkan kenyamanan warga.

Bagaimana dengan Indonesia?

Seperti diberitakan detikHealth pada Juli 2024 lalu, angka pernikahan di Indonesia juga mengalami penurunan drastis. Dampaknya, angka angka kelahiran atau total fertility rate (TFR) secara nasional kini berada di 2,1.

Hasto Wardoyo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) khawatir dalam beberapa tahun ke depan TFR terus menurun. Sebab kini adanya pergeseran tujuan pernikahan yang awalnya didominasi prokreasi atau memiliki keturunan, kini tidak sedikit yang hanya menjadi rekreasi.

“Ada juga yang rekreasi, supaya hubungan suami-istri sah, ada yang ‘security’ yaitu supaya bisa mendapatkan perlindungan,” kata Hasto dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Selasa (2/7/2024).

Di samping itu, Hasto mengatakan perubahan persepsi di masyarakat tentang menikah tidak lagi wajib juga ikut berperan dalam penurunan TFR. Dia pun berharap setiap wanita bisa melahirkan satu anak perempuan.

“Di Jawa Tengah sendiri, angka kelahiran total bernilai 2,04. Secara nasional saya mempunyai tanggung jawab agar penduduk tumbuh seimbang. Saya berharap adik-adik perempuan nanti punya anak rata-rata 1 perempuan. Kalau di desa ada 1.000 perempuan maka harus ada 1.000 bayi perempuan lahir,” sambungnya.

Hal yang sama juga pernah diwanti-wanti Wakil Presiden ke-13 RI, Ma’ruf Amin, pada 2023 lalu. Dia menyarankan generasi muda untuk tidak menunda pernikahan lantaran bisa berpengaruh pada keseimbangan jumlah penduduk.

“Yang menarik, jumlah penduduk usia muda itu mengecil, gitu ya, Pak, yang tua-tua makin banyak. Ini saya kira jadi anjurannya itu supaya diadakan keseimbangan. Jadi jangan menunda nikahnya gitu,” kata Ma’ruf usai Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) yang bertajuk ‘Indonesia Emas’ di JCC Senayan, Jakarta, Selasa (16/5/2023).

Ma’ruf mengatakan, jika usia produktif rendah, tidak akan ada regenerasi. “Sebab, kalau tidak, prediksinya nanti yang banyak yang tua, yang muda yang produktif itu rendah, ini saya kira, mungkin Pak Bappenas bisa menjelaskan,” ujarnya.

(knv/knv)


Hoegeng Awards 2025


Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *