Jakarta –
Ternyata profesionalisme tidak selalu menjadi mantra terbaik bagi tegaknya perilaku antikoruptif. Sepanjang 2020-2024, ada 96 kasus korupsi yang melibatkan instansi BUMN/ BUMD. Rentetan kasus korupsi ini seolah menjelaskan bahwa seluruh sektor di negeri ini tidak sepi korupsi. Karena itu, komitmen Presiden Prabowo menjadikan BUMN sebagai agen pembangunan (agent of development) melalui pembentukan Danantara menjadi pantas diragukan efektivitasnya.
Bagaimana tidak, di tengah sengkarut yang ada, yakni kegagalan berganda dalam menjalankan perannya sebagai sumber lain penerimaan negara, BUMN masih saja dengan percaya diri mengajukan modal tambahan dalam APBN. Setiap tahun ritus ini selalu berulang. Pada 2023 sebesar Rp 69,89 triliun –sebelumnya Rp 86,72 triliun (2022) dan Rp 113,46 triliun (2021); angka yang besar di tengah tertekannya APBN dalam mendanai kebutuhan mendasar rakyat. Padahal berbagai kasus korupsi tersebut selain menegaskan gagalnya reformasi kelembagaan juga menjadi pengingat langkah investasi negara yang sepanjang 2020-2023 telah mencapai Rp 364,74 triliun (LKPP audited, 2023).
Ada dua pertanyaan menyikapi korupsi di tubuh BUMN yang kembali berulang. Pertama, apakah kebijakan injeksi fiskal adalah prasyarat produktivitas BUMN, atau justru kebijakan ini hanya membebani ruang fiskal semata? Kedua, apakah swastanisasi dan deregulasi pengawasan adalah solusi bagi penajaman langkah bisnis BUMN, atau justru perlu pengawasan lebih melekat oleh lembaga audit dan yustisi negara?
Paradoks
Peran strategis BUMN memiliki landasan ideologis, teoritik, dan aktual. Secara ideologis, BUMN menjadi tafsir absah amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 untuk mengelola cabang-cabang produksi krusial. Secara teoritik, BUMN adalah entitas bisnis yang diharapkan menjadi stimulan bergeraknya roda perekonomian. Negara melalui instrumen fiskal tidak saja menjadi menjadi pijakan terakhir (lender of the last resort), melainkan setiap tahun selalu siap sedia memberi insentif guna menegakkan eksistensi korporasi.
Secara aktual, peran strategis BUMN ini semakin kokoh dengan total aset yang konon menembus angka Rp 10,4 kuadriliun hingga akhir 2023. Nilai aset ini bahkan berjumlah tiga kali lipat dari total belanja APBN 2025 yang ditargetkan Rp 3,61 kuadriliun, atau separuh PDB Indonesia 2023 yang berjumlah Rp 20,89 kuadriliun. Dengan total aset sebesar ini, posisi BUMN untuk mendorong perekonomian nasional sebenarnya sangat memadai. Apalagi posisi negara dalam pengelolaan BUMN sangat dominan yang dibuktikan dengan komposisi kepemilikan saham yang sudah pasti di atas 50 persen, bahkan di beberapa BUMN utama mencapai kepemilikan absolut.
Tetapi, potensi ekonomi ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Nilai tambah BUMN untuk penerimaan negara tidak pernah mencapai angka yang signifikan. Selama kurun 2020-2023, rata-rata realisasi penerimaan bagian laba BUMN hanya menyumbang 2,17 persen terhadap total penerimaan negara. Bandingkan dengan besaran PMN yang rata-rata mencapai 3,18 persen dari total belanja negara.
Paradoks lain muncul ketika injeksi fiskal berupa penyertaan modal punya volatilitas yang tinggi terhadap profitabilitas BUMN. Pada 2020, dengan total investasi Rp 94,67 triliun, setoran laba mencapai Rp 44,59 triliun. Namun pada 2021, pemerintah telah menginjeksi Rp 113,46 triliun, laba yang disetor hanya berjumlah Rp 30,49 triliun. Bahkan, dengan PMN sebesar Rp 69,87 triliun pada 2023, pemerintah mampu mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp 82,05 triliun. Ini menimbulkan tanda tanya, apa keberkaitan investasi dengan setoran laba?
Deretan paradoks ini pada akhirnya sulit mengelak kita dari pertanyaan seputar daya ungkit investasi pemerintah pada profitabilitas BUMN. Kausalitasnya meragukan. Oleh karenanya, perlu ada penjelasan lain yang lebih akuntabel dalam meningkatkan daya saing BUMN. Kalau merujuk pada praktik penyalahgunaan kewenangan dan penyuapan dalam berbagai kasus korupsi BUMN, celah pembenar bagi adanya pengawasan lebih melekat sangat terbuka. Terlebih mekanisme audit kelembagaan yang selama ini dijalankan BPK terbukti memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu yakni bersifat post-factum atau setelah peristiwanya terjadi (Pasal 10 ayat 1 UU 15/2006).
Dengan demikian, menilik berbagai kasus BUMN hanya pada ihwal kerugian negara tidak mencukupi. Kejadian tersebut perlu dijadikan preseden dalam hal politik pengelolaan BUMN pada kerangka yang lebih menyeluruh, yakni soal preferensi logika dan sistem ekonomi. Persis dalam titik ini pulalah pendulum klasik perdebatan ideologis relevan kembali dibuka. Bahwa ide eksperimentasi pengelolaan BUMN melalui skema penggabungan (superholding), atau kluster (subholding) harus kembali diuji kelayakannya. Apakah skema ini adalah pilihan logis dalam meningkatkan kinerja BUMN? Pertanyaan ini perlu dijawab sebab faktanya, skema superholding yang merupakan manifes nyata dari ide swastanisasi, dan subholding yang fokus pada inti usaha belum berdampak signifikan pada profitabilitas BUMN.
Ini menjadi pengingat bahwa solusi paling mungkin adalah kembali lagi kepada penegakan hukum dan pengawasan melekat negara atas penggunaan dana publik. Anja Baum, dkk (2019) dalam kajian bertajuk Governance and state-owned enterprises: how costly is corruption? memberikan beberapa catatan. Pertama, jika korupsi di sebuah negara sangatlah tinggi, atau transparansi fiskal rendah, maka berdampak signifikan terhadap rendahnya kinerja BUMN. Ini adalah postulat universal yang tidak determinan terhadap kualitas pembangunan di negara tersebut (PDB per kapita).
Kedua, kinerja BUMN lebih dipengaruhi oleh kualitas kelembagaan pemerintah. Di negara yang kelembagaannya kompetitif, BUMN sangat mungkin lebih berdaya saing ketimbang perusahaan swasta. Ketiga, reformasi kelembagaan BUMN yang diinisiasi oleh pemerintah menjadi obat mujarab untuk meningkatkan kompetensi perusahaan negara. Pelembagaan dan promosi nilai transparansi dan akuntabilitas, serta penguatan peran pemerintah selaku pengawas BUMN adalah kuncinya.
Arifuddin Hamid alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan FEB UI
(mmu/mmu)