Jakarta –
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi tahunan Indonesia pada 2024 adalah 1,57%. Inflasi ini berada dalam kategori rendah dan merupakan yang terendah sejak perhitungan inflasi pertama kali dilakukan pada 1958, ujar Pudji Ismartani, Kepala Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (3/1/2025). Lantas, apakah angka inflasi tersebut baik? Apa dampaknya bagi masyarakat dan negara? Apa hubungan inflasi 1,57% dan pertumbuhan ekonomi 8%?
Angka inflasi sebesar 1,57% mengindikasikan bahwa harga barang dan jasa secara keseluruhan mengalami kenaikan rata-rata sekitar 1,57% dibandingkan periode sebelumnya. Angka ini penting untuk dimaknai agar dapat memberikan gambaran tentang kondisi ekonomi suatu negara dan dampaknya terhadap masyarakat serta negara secara keseluruhan.
Makna Inflasi 1,57%
Secara umum, inflasi di tingkat sekitar 1-2% bisa dianggap stabil dan terkendali. Inflasi yang tidak terlalu tinggi menunjukkan bahwa perekonomian tidak mengalami lonjakan harga yang drastis, yang dapat menimbulkan ketidakpastian. Inflasi yang moderat juga menjadi tanda bahwa daya beli masyarakat cukup stabil dan kebijakan moneter yang diterapkan oleh pemerintah atau bank sentral berjalan dengan baik. Selain itu, inflasi rendah dapat memberikan ruang bagi kebijakan ekonomi untuk mendukung pertumbuhan tanpa khawatir akan peningkatan harga yang tidak terkendali.
Inflasi rendah memberikan dampak positif bagi masyarakat. Harga barang dan jasa tetap terjangkau, sehingga daya beli cenderung tidak tergerus secara signifikan. Kelompok masyarakat dengan pendapatan tetap, seperti pensiunan atau pegawai negeri, juga merasakan dampak positif karena harga barang pokok yang mereka beli tidak melonjak tinggi. Namun, inflasi rendah yang bertahan terlalu lama bisa menjadi sinyal perekonomian yang tidak tumbuh dengan cepat. Dalam situasi ini, mungkin ada kekurangan permintaan atau pertumbuhan yang tidak optimal, yang dapat mempengaruhi peluang kerja atau pendapatan masyarakat dalam jangka panjang.
Bagi negara, inflasi yang terkendali mendukung stabilitas ekonomi dan membantu perencanaan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih efektif. Negara dapat lebih mudah mengelola anggaran dan menetapkan kebijakan yang pro pertumbuhan. Stabilitas inflasi juga meningkatkan kepercayaan investor, baik domestik maupun asing, untuk berinvestasi karena mereka melihat ekonomi yang tidak dipenuhi dengan ketidakpastian harga.
Meski demikian, inflasi yang terlalu rendah atau bahkan deflasi dapat menjadi pertanda perekonomian yang lesu dengan permintaan konsumen yang lemah, serta potensi resesi. Dalam jangka panjang, inflasi yang sangat rendah dapat menyebabkan stagnasi ekonomi, karena pengusaha dan investor cenderung menunda pengeluaran dan investasi jika tidak ada kenaikan harga yang menarik.
Dalam menjaga kestabilan inflasi, keseimbangan adalah kunci utama. Meskipun inflasi 1,57% cenderung menunjukkan kestabilan, pemerintah dan bank sentral harus terus memantau faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inflasi, seperti perubahan harga energi, pangan, atau kebijakan luar negeri yang berdampak pada impor dan ekspor.
Inflasi yang terkendali juga perlu disertai pertumbuhan ekonomi yang sehat agar perekonomian tidak jatuh ke dalam resesi atau stagnasi. Penting pula memastikan daya beli masyarakat tetap terjaga, terutama bagi kelompok berpendapatan rendah yang lebih rentan terhadap fluktuasi harga barang kebutuhan pokok. Bank sentral perlu terus memantau suku bunga dan kebijakan lainnya untuk menjaga inflasi stabil di kisaran yang sehat tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Inflasi dan Pertumbuhan
Dalam kondisi normal, inflasi rendah sekitar 1-2% biasanya mendukung pertumbuhan ekonomi di kisaran 3-5%, tergantung kepada faktor lain seperti tingkat konsumsi, investasi, ekspor, dan kebijakan fiskal atau moneter. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, seperti dikehendaki Presiden Prabowo Subianto, inflasi yang lebih tinggi, sekitar 2-4%, umumnya dianggap lebih realistis. Hal ini karena pertumbuhan tinggi biasanya memerlukan peningkatan permintaan barang dan jasa yang lebih cepat, yang secara alami akan mendorong kenaikan harga (inflasi).
Jika inflasi 1,57% disertai dengan stimulus fiskal dan moneter besar, seperti investasi pemerintah yang tinggi, peningkatan konsumsi masyarakat, dan ekspor yang tumbuh pesat, pertumbuhan ekonomi 8% bisa dicapai. Namun, inflasi rendah seperti 1,57% sering mencerminkan permintaan domestik yang lemah atau rendahnya investasi produktif, yang tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tingkat inflasi rendah bisa menjadi indikator kurangnya dorongan ekonomi, yang membuat target pertumbuhan ekonomi 8% sulit tercapai.
Negara berkembang seperti Indonesia biasanya memerlukan tingkat inflasi yang moderat (2-4%) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tinggi karena aktivitas ekonomi yang bergantung pada konsumsi dan investasi. Inflasi yang terlalu rendah sering terjadi di negara maju dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, sehingga kurang ideal bagi negara berkembang yang ingin mencapai pertumbuhan sebesar 8%.
Dengan demikian, inflasi 1,57% tidak secara langsung mendukung target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, tingkat inflasi yang lebih tinggi dan terkendali (sekitar 2-4%) diperlukan sebagai tanda meningkatnya permintaan dan aktivitas ekonomi. Agar inflasi rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi 8%, perlu adanya kebijakan ekonomi yang sangat agresif, seperti investasi besar-besaran, dorongan ekspor, dan peningkatan produktivitas. Tanpa ini, target 8% sulit dicapai hanya dengan inflasi rendah.
Steph Subanidja Guru Besar Ilmu Manajemen, dosen Program Studi Doktor Manajemen Berkelanjutan Sekolah Pascasarjana Institut Perbanas
(mmu/mmu)