Jakarta –
Mahasiswa bernama Achmad Syiva Salsabila mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menggugat pasal yang mengatur keharusan membawa dokumen fisik Surat Izin Mengemudi (SIM).
Dilihat dari situs MK, Jumat (20/12/2024), gugatan tersebut terdaftar dengan nomor 174/PUU-XXII/2024. Sidang pemeriksaan pendahuluannya telah digelar di Gedung MK, Kamis (19/12).
Dalam sidang itu, Syiva meminta agar MK menyatakan Pasal 288 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertentangan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun isi pasal yang digugat itu ialah:
Pasal 288 ayat 2:
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 250.000
Alasan Menggugat
Dalam persidangan, dia menyampaikan apresiasi ke pemerintah yang telah memperkenalkan SIM elektronik. Tapi, katanya, aturan yang ada belum mendukung agar warga cukup membawa SIM elektronik itu saja.
“Namun, Yang Mulia, Pemohon merasa bahwa manfaat dari inovasi ini belum dapat sepenuhnya kami rasakan karena adanya ketidakjelasan dalam pasal a quo terkait pengakuan hukum terhadap format SIM elektronik,” ujarnya dalam sidang sebagaimana dikutip dari risalah persidangan.
Dia mengatakan ketidakjelasan itu membuat pengemudi harus membawa SIM fisik saat berkendara. Dia mengatakan membawa SIM fisik harus tetap dilakukan agar tidak kena tilang.
“Ketidakjelasan ini justru membebani Pemohon sebagai warga negara yang menggunakan SIM elektronik. Meskipun telah memiliki SIM elektronik yang sah, kami tetap harus membawa SIM fisik setiap saat untuk menghindari risiko sanksi atau dianggap melanggar hukum,” ujarnya.
Nasihat MK
Hakim MK pun memberi nasihat ke pemohoh. Hakim MK Enny Nurbaningsih mengatakan Syiva harus merapikan dokumen gugatan agar sesuai dengan aturan MK.
Enny juga sempat bertanya apakah Syiva memiliki SIM digital, yang dijawab ‘sudah punya’. Enny juga bertanya apakah pemohon pernah kena sanksi gara-gara punya SIM digital tapi tak bisa menunjukkan SIM fisik.
“Saudara pernah enggak diapa, dikenakan sanksi 288 itu ketika melakukan kegiatan berkendaraan? Pernah, nggak?” tanya Enny.
“Siap, masih belum, Yang Mulia,” ucap Syiva.
“Lah, kalau belum, gimana saudara membuktikan bahwa sudah punya kerugian hak konstitusional di situ, ya? Ini yang penting sekali di situ,” ujar Enny.
Hakim MK Daniel Yusmic juga menasihati pemohon memperbaiki petitumnya. Dia mengatakan tak mungkin pasal sanksi pengemudi tidak membawa SIM dihapus seperti isi petitum pemohon.
“Ini norma yang diuji ini berkaitan dengan unsur pidana, ya, karena ini ada sanksinya, itu nanti coba dicermati. Apalagi Saudara Syiva ingin menghilangkan, maka ini akan terjadi kevakuman norma, ya. Lalu dicermati juga di dalam merumuskan norma itu ada yang norma primer, ada sekunder, ya. Jadi, ada jenis-jenis norma. Nanti … saya kira itu mungkin sudah diajarkan, ya, di ilmu perundang-undangan. Supaya dicermati dulu, apakah semudah itu dihilangkan ini? Dampaknya apa, ya? Tadi Yang Mulia Prof. Enny sudah ingatkan, nanti orang yang tidak punya SIM boleh dong mengendarai kendaraan di jalan raya karena norma ini sudah hilang, ya, coba dipikirkan. Tapi kalau nanti Saudara Syiva mikir-mikir, wah ternyata tidak bisa ini dilanjutkan, kalau Saudara Syiva mau narik juga silakan,” ucap Daniel.
(haf/imk)