Jakarta –
Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) menyayangkan terjadinya insiden ledakan saat pemusnahan amunisi afkir yang menewaskan 13 orang termasuk warga sipil di Garut, Jawa Barat. ISDS menyoroti penerapan standard operating procedure (SOP) TNI dalam melakukan pemusnahan amunisi.
“Kami menyampaikan duka mendalam atas jatuhnya korban jiwa baik TNI maupun warga sipil. Tragedi memilukan ini menjadi alarm keras bagi kita terkait pelaksanaan SOP di TNI terutama dalam penanganan bahan peledak,” kataCo-Founder ISDS, Dwi Sasongko dalam keterangannya, Sabtu (13/5/2025).
Dia menyebut secara kimia, bahan peledak memiliki sifat yang tidak dapat diduga, terkait dengan stabilitas dan sensitivitas terhadap panas atau benturan. Sifat terduganya akan meningkat ketika bahan peledak sudah lewat masa pakai atau kadaluwarsa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ketika disimpan pun, ia bisa meledak sewaktu-waktu, misalnya karena suhu atau tekanan. Oleh karena itu, amunisi TNI pun secara rutin harus dimusnahkan,” jelas Dwi.
Dia menyingung peristiwa ledakan yang terjadi pada gudang peluru di Cibubur tahun lalu. Ledakan, kata Dwi, terjadi karena adanya amunisi yang sudah kedaluwarsa.
Karena itu, Dwi tak membantah kegiatan pemusnahan amunisi karena merupakan bagian dari SOP TNI. Namun, dia mempertanyakan SOP pemusnahan yang diduga tidak dilakukan dengan baik.
Secara struktural, Dwi menyebut proses pemusnahan amunisi berada di bawah kewenangan Korps Peralatan TNI. Namun saat ini, kata dia, perbaikan prosedur pemusnahan amunisi yang harus menjadi fokus utama.
“Namun lebih dari sekadar mencari siapa yang salah, yang jauh lebih penting adalah mendorong perbaikan sistemik khususnya dalam hal SOP pemusnahan amunisi kedaluwarsa,” sebut dia.
Dwi lantas memberikan sejumlah catatan penting yang perlu diperhatikan terkait prosedur pemusnahan amunisi. Pertama, yaknit lokasi pemusnahan harus aman dan berlokasi di tempat terpencil dan tidak terlalu dekat dengan permukiman.
“SOP ke depan harus mewajibkan pemusnahan dilakukan di area yang benar-benar terisolasi, dengan radius pengamanan yang diperhitungkan berdasarkan daya ledak maksimum dari jenis amunisi yang dimusnahkan,” terang Dwi.
“Lokasi pemusnahan di Garut nampaknya sudah memenuhi persyaratan. Akan tetapi, tampak bahwa kehadiran masyarakat di tengah-tengah proses seharusnya tidak terjadi,” ucapnya.
Menurut Dwi, sosialisasi tentang dampak bahaya pemusnahan amunisi perlu dilakukan untuk memudahkan penutupan akses warga di sekutar lokasi. Tujuannya agar peledakan dilakukan setelah benar-benar steril dari warga sipil.
Kemudian, Dwi menilai perlunya kajian lebih lanjut mengenai prosedur teknis penggunaan teknologi dan parameter yang jelas dalam proses pemusnahan. SOP, katanya, harus diperkuat dengan prosedur pengecekan ulang jenis amunisi, kondisi bahan peledak, serta penggunaan alat pelindung dan prosedur evakuasi darurat.
“Potensi munculnya bahaya sekecil apapun harus menjadi perhatian serius untuk menghindari jatuhnya koran yang tidak perlu,” ucap Dwi.
Tak lupa, dilakukannya pelatihan ulang personel dalam melakukan peledakan amunisi yang sudah afkir. Termasuk dengan melibatkan teknologi yang lebih canggih seperti sensor dan drone atau robot.
“Semua personel yang terlibat wajib mengikuti pelatihan rutin dan simulasi skenario terburuk, agar dapat menangani kondisi darurat secara cepat dan tepat,” tutur Dwi.
Menurutnya langkah itu, tidak hanya penting untuk menjaga keselamatan personel militer, tetapi juga krusial untuk melindungi warga sipil serta menjaga kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan.
“Peristiwa ini merupakan pengingat keras bahwa prosedur yang tidak dilaksanakan dan diperbarui sesuai perkembangan teknologi bisa berdampak fatal,” ucap Dwi.
“Tanggung jawab utama ada pada penyelenggara kegiatan, dalam hal ini TNI, namun tanggung jawab moral dan sistemik juga harus dibagi kepada seluruh pemangku kebijakan, agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali,” imbuhnya.
Karena itu, Dwi berharap peristiwa kemarin harus menjadi titik balik dalam penanganan bahan peledak milik negara dengan standar profesional dan berbasis keselamatan.
Diketahui, peristiwa ledakan tersebut terjadi pada Senin (12/5) pukul 09.30 WIB di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Garut, Jawa Barat. Ledakan menyebabkan 13 orang meninggal dunia, dengan rincian empat orang merupakan anggota TNI dan sisanya warga sipil.
Berikut daftar nama korban ledakan:
1. Kolonel Cpl Antonius Hermawan;
2. Mayor Cpl Anda Rohanda;
3. Agus bin Kasmin;
4. Ipan bin Obur;
5. Iyus Ibing bin Inon;
6. Anwar bin Inon;
7. Iyus Rizal bin Saepuloh;
8. Toto;
9. Dadang;
10. Rustiawan;
11. Endang;
12. Kopda Eri Dwi Priambodo;
13. Pratu Aprio Setiawan.
(ond/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini