Jakarta –
Awal 2025 menandai periode penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia. Berbagai indikator makroekonomi menunjukkan adanya tekanan yang mengarah pada perlambatan, melanjutkan tren yang sudah terlihat sejak akhir 2024.
Sebagai titik tolak, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2024 tercatat sebesar 5,03% (c-to-c), sedikit di bawah target pemerintah sebesar 5,2%. Pertumbuhan pada triwulan IV-2024 mencapai 5,02% secara tahunan (yoy) dan 0,53% secara kuartalan (q-to-q). Capaian ini, meskipun masih solid, mengindikasikan momentum pertumbuhan yang sedikit melambat memasuki 2025.
Memasuki kuartal I – 2025, berbagai proyeksi mengindikasikan perlambatan lebih lanjut. Prediksi yang muncul pada pertengahan Maret 2025 menyebutkan bahwa pertumbuhan PDB kuartal I – 2025 kemungkinan akan berada di bawah 5%. Proyeksi dari berbagai lembaga untuk keseluruhan 2025 juga cenderung konservatif, berkisar antara 5,0% hingga 5,1%, seperti proyeksi LPEM UI (5,1%), ADB (5,0%), dan AMRO (5,0%). Bank Indonesia (BI) sendiri memproyeksikan pertumbuhan pada rentang 4,7%-5,5% untuk 2025. Penurunan proyeksi oleh AMRO menjadi 5% semakin memperkuat sinyal kehati-hatian pasar terhadap prospek ekonomi.
Meskipun data resmi PDB kuartal I – 2025 dari Badan Pusat Statistik (BPS) baru akan dirilis setelah periode analisis ini (kemungkinan Mei 2025), konsistensi proyeksi yang berada di bawah target awal pemerintah dan sedikit di bawah realisasi 2024 mengindikasikan kuatnya ekspektasi perlambatan pada awal tahun.
Proyeksi di bawah 5% untuk kuartal I, yang muncul sebelum eskalasi tarif paling tajam pada April 2025, menyiratkan bahwa perlambatan ini tidak semata-mata dipicu oleh intensitas puncak perang dagang, tetapi juga berakar pada faktor domestik atau sensitivitas terhadap ketidakpastian global yang sudah ada sebelumnya, termasuk fase awal ketegangan dagang baru sejak akhir 2024/awal 2025.
Dinamika Inflasi: Tekanan Deflasi dan Volatilitas
Dinamika inflasi pada kuartal I – 2025 menunjukkan pola yang tidak biasa dan menyoroti adanya volatilitas. Pada Januari 2025, Indonesia mencatat deflasi bulanan (m-to-m) sebesar 0,76%, meskipun secara tahunan (yoy) masih terjadi inflasi 0,76%. Tingkat inflasi tahunan Januari ini merupakan yang terendah dalam 25 tahun terakhir. Tren deflasi berlanjut pada Februari 2025, dengan deflasi bulanan 0,48% dan deflasi tahunan 0,09%.
Fenomena deflasi berturut-turut ini sangat tidak lazim bagi ekonomi berkembang seperti Indonesia dan mengindikasikan pelemahan signifikan pada permintaan domestik dan daya beli masyarakat di awal kuartal. Namun, tren ini berbalik tajam pada Maret 2025, yang mencatat inflasi bulanan tinggi sebesar 1,65% dan inflasi tahunan 1,03%.
Lonjakan inflasi Maret kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor musiman menjelang Ramadan dan Idul Fitri, yang secara historis mendorong kenaikan harga, terutama kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa tekanan biaya dari depresiasi Rupiah atau gangguan awal rantai pasok akibat ketidakpastian global, termasuk perang dagang, turut berkontribusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Urutan kejadian deflasi yang diikuti inflasi tajam ini menyoroti kompleksitas dan volatilitas kondisi ekonomi. Pelemahan permintaan konsumen yang menekan harga (deflasi) tampak berdampingan dengan potensi tekanan biaya atau lonjakan musiman yang mendorong harga naik (inflasi). Situasi ini menghadirkan dilema bagi kebijakan moneter: pengetatan untuk mengendalikan potensi inflasi dapat memperburuk kelesuan permintaan, sementara pelonggaran untuk mendorong pertumbuhan dapat mengabaikan tekanan biaya yang muncul.
Kondisi Pasar Tenaga Kerja
Data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terbaru yang tersedia dalam periode analisis adalah data Agustus 2024, yang menunjukkan angka 4,91%. Terdapat variasi regional yang signifikan, dengan Jawa Barat mencatat TPT tertinggi (6,75%) sementara beberapa provinsi lain seperti Jawa Tengah menunjukkan tren penurunan dalam lima tahun terakhir hingga Agustus 2024.
Data juga menunjukkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi di perkotaan (5,79%) dibandingkan pedesaan (3,67%) per Agustus 2024. Secara struktural, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) menghadapi tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Meskipun pendataan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) untuk Februari 2025 telah dilaksanakan, hasilnya belum dirilis dalam cakupan data laporan ini.
Dengan proyeksi perlambatan ekonomi di kuartal I – 2025 dan meningkatnya ketidakpastian akibat perang dagang, tekanan di pasar tenaga kerja diperkirakan meningkat. LPEM FEB UI secara eksplisit menyoroti adanya risiko ketenagakerjaan yang terkait dengan kebijakan tarif AS. Perlambatan pertumbuhan kemungkinan akan menghambat laju penciptaan lapangan kerja baru dan meningkatkan kerawanan bagi pekerja yang sudah ada.
Tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK menunjukkan adanya isu ketidaksesuaian keahlian (skills mismatch) atau kurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor terkait yang sudah ada sebelum perlambatan ini. Kondisi ekonomi yang melemah berpotensi memperburuk kerentanan kelompok ini, menambah tantangan sosial terkait pengangguran usia muda.
Sektor Eksternal: Neraca Perdagangan dan Nilai Tukar
Neraca perdagangan Indonesia tetap mencatat surplus sepanjang kuartal I – 2025. Surplus tercatat sebesar USD 3,45 miliar pada Januari, USD 3,12 miliar pada Februari (dihitung dari data ekspor/impor), dan USD 4,33 miliar pada Maret. Capaian Januari menandai surplus selama 57 bulan berturut-turut. Namun, tren ekspor dan impor menunjukkan volatilitas. Pada Januari, ekspor naik 4,68% yoy tetapi turun signifikan 8,56% mom, sementara impor turun 2,67% yoy dan 15,18% mom.
Penurunan tajam mom pada Januari mengindikasikan deselerasi aktivitas perdagangan pada awal tahun. Aktivitas perdagangan sedikit pulih pada Februari (Ekspor +2,58% mom; Impor +5,18% mom) dan Maret (Ekspor +5,95% mom, +3,16% yoy; Impor +0,38% mom, +5,34% yoy).
Meskipun neraca perdagangan surplus, nilai tukar Rupiah justru mengalami tekanan depresiasi yang signifikan. Pada Januari 2025, nilai tukar mencapai Rp16.259 per USD, dan terus melemah hingga Rp16.380 per USD pada pertengahan Januari setelah keputusan penurunan suku bunga BI. Analis bahkan memperkirakan potensi pelemahan lebih lanjut menuju Rp16.500-Rp6.800 per USD. Pelemahan ini terjadi seiring dengan adanya arus 1modal keluar bersih dari pasar keuangan domestik.
Fenomena surplus perdagangan yang tidak diikuti penguatan Rupiah merupakan indikator penting. Hal ini menyiratkan bahwa faktor-faktor lain, terutama arus modal keluar dan sentimen negatif pasar, mendominasi pengaruh positif dari surplus perdagangan terhadap neraca pembayaran. Surplus perdagangan itu sendiri mungkin lebih didorong oleh lemahnya permintaan impor (akibat perlambatan domestik) daripada kinerja ekspor yang sangat kuat.
Arus modal keluar kemungkinan dipicu oleh kombinasi faktor global (penguatan USD, kebijakan The Fed, penghindaran risiko akibat perang dagang) dan faktor domestik (penurunan suku bunga BI yang mempersempit diferensial). Kerentanan terhadap arus modal global dan pergeseran sentimen ini menjadi perhatian utama bagi stabilitas makroekonomi Indonesia.
Respons Kebijakan Moneter dan Fiskal
Menghadapi dinamika ekonomi ini, otoritas moneter dan fiskal mengambil langkah responsif. BI secara mengejutkan menurunkan BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75% pada Rapat Dewan Gubernur 14-15 Januari 2025. Keputusan ini didasarkan pada prakiraan inflasi yang tetap rendah dan terkendali dalam sasaran 2,5±1% untuk 2025-2026, ekspektasi nilai tukar yang (saat itu dianggap) stabil, serta kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
BI menyatakan pergeseran fokus kebijakannya menjadi “pro stabilitas dan pro pertumbuhan”. Beberapa analis memperkirakan adanya ruang untuk penurunan suku bunga lebih lanjut pada sisa 2025. Dari sisi fiskal, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir Februari 2025 mencatat defisit sebesar Rp 31,2 triliun (0,13% dari PDB). Defisit ini disebabkan oleh realisasi pendapatan negara (Rp 316,9 triliun) yang lebih rendah dari belanja negara (Rp 348,1 triliun atau 9,6% dari target).
Pelemahan pendapatan negara terlihat baik dari sisi pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Meskipun demikian, belanja pemerintah diharapkan meningkat sepanjang tahun, yang berpotensi melebarkan defisit namun dapat menstimulasi konsumsi. Keputusan BI menurunkan suku bunga merupakan sinyal jelas prioritas pada pertumbuhan, namun waktu pengambilannya berisiko karena mendahului eskalasi perang dagang dan tekanan lebih lanjut pada Rupiah.
Di sisi lain, defisit fiskal dini akibat lemahnya penerimaan mengindikasikan potensi keterbatasan ruang fiskal untuk melakukan belanja stimulus yang signifikan jika perlambatan ekonomi semakin dalam. Kombinasi pelonggaran moneter dan potensi keterbatasan fiskal ini menunjukkan adanya tantangan koordinasi kebijakan.
Selain itu, penurunan suku bunga, meskipun bertujuan mendukung pertumbuhan, kemungkinan turut berkontribusi pada arus modal keluar dan pelemahan Rupiah ketika sentimen risiko global memburuk akibat perang dagang, mengilustrasikan trade-off kebijakan yang sulit.
Yudha Pradana analis dan pengamat ekonomi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini