Jakarta –
Laporan Audit Brand Report 2024 oleh organisasi nirlaba yang fokus pada lingkungan, Sungai Watch, mengungkap bahwa air minum dalam kemasan gelas milik salah satu perusahaan multinasional merupakan penyumbang sampah plastik terbanyak di Indonesia selama empat tahun berturut-turut. Sampah air minum dalam kemasan gelas disebut menyimpan dampak besar terhadap pencemaran lingkungan di Indonesia.
“Kami tak bisa mengumpulkan sampah-sampah kalian sepanjang hidup kami, kini saatnya untuk berubah,” seru pendiri Sungai Watch, Sam Bencheghib, dalam keterangan tertulis, Kamis (24/4/2025).
Dalam audit terbarunya, Sungai Watch mencatat sebanyak 10.910 sampah merek tersebut ditemukan di sungai dan tempat pembuangan akhir. Ini setara dengan 30% dari total sampah yang dihasilkan induk perusahaan pemilik produsen merek AMDK tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan hanya Sungai Watch, temuan serupa datang dari survei Litbang Kompas dan Net Zero Waste Management Consortium (NZWMC) tahun 2022. Dari enam kota besar, merek produsen AMDK terkait menempati posisi keempat penyumbang sampah terbanyak-di bawah plastik tanpa merek, kantong kresek, dan bungkus mie instan.
Situasi ini mendorong NZWMC mempertimbangkan langkah hukum. Dikatakan perwakilan NZWMC, Ahmad Safrudin, pihaknya berencana melayangkan somasi kepada perusahaan-perusahaan yang sampah kemasannya masih mendominasi badan-badan air dan tempat pembuangan akhir (TPA).
Lebih lanjut, produsen merek AMDK ini pernah berjanji untuk tidak memproduksi kemasan gelas pada 2021. Namun, kemasan gelas ukuran 220 ml dari merek tersebut masih beredar luas dengan dalih kepopulerannya di pasar Indonesia.
Padahal, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 75 Tahun 2019, produsen wajib menghentikan produksi kemasan kecil paling lambat tahun 2029.
“Ini karena faktanya kemasan-kemasan kecil ini, seperti gelas plastik, banyak mengotori lingkungan, maka satu-satunya cara adalah penghentian produksinya,” ujar Ahmad.
Masalah utama dengan gelas plastik terletak pada pilihan desain kemasan. Seorang pengusaha daur ulang Hadiyan Fariz Azhar menjelaskan kemasan ini sangat sulit dikumpulkan dan didaur ulang karena ukurannya kecil dan sering terkontaminasi zat-zat lain, sehingga bernilai ekonomi rendah dan bahkan bisa tidak bernilai sama sekali.
Akibatnya, kemasan-kemasan AMDK gelas ini berakhir di lingkungan alih-alih di proses daur ulang, padahal perusahaan mengklaim produknya sebagai ‘100% recyclable’.
Langkah Tegas dari Bali
Belakangan ini Gubernur Bali I Wayan Koster mengambil tindakan terhadap sampah air minum dalam kemasan. Melalui Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2025, ia melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan berukuran di bawah 1 liter.
Perusahaan yang melanggar terancam sanksi pencabutan izin dan diumumkan ke publik. Koster mengatakan kebijakan itu dia tempuh karena kemasan plastik berukuran kecil secara signifikan berkontribusi kepada timbulan sampah di Bali.
Pada saat yang sama, Bali memiliki target untuk mengurangi timbulan sampah hingga 30%. Namun, langkah Bali mendapat tentangan dari Perkumpulan Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin).
“Kami keberatan dan minta dikaji ulang karena berpengaruh ke industri dan pariwisata,” ujar Ketua Umum Aspadin, Rachmat Hidayat.
(prf/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini