Dituduh Hina Monarki, Akademisi AS Ditahan di Thailand


Jakarta

Seorang akademisi asal Amerika Serikat (AS) yang tinggal di Thailand ditahan pada Selasa (8/4) atas tuduhan menghina monarki.

Akademisi bernama Paul Chambers, yang mengajar ilmu politik di Universitas Naresuan di Thailand bagian utara itu, sebelumnya melapor ke kantor polisi di provinsi Phitsanulok, sekitar 360 kilometer di utara Bangkok.

Polisi pertama kali memanggilnya minggu lalu untuk mendengar dakwaan yang dituduhkan kepadanya menyusul laporan dari Angkatan Darat Thailand.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa yang dituduhkan kepada Chambers?

Seorang petugas polisi Phitsanulok, yang berbicara secara anonim, mengonfirmasi bahwa akademisi asal AS tersebut telah datang ke kantor polisi untuk menerima dua dakwaan: menghina atau mencemarkan nama baik monarki, serta pelanggaran undang-undang kejahatan siber terkait aktivitas daring.

Chambers kemudian dibawa ke Pengadilan Provinsi Phitsanulok untuk sidang penahanan pra-persidangan, menurut organisasi Pengacara Thailand untuk Hak Asasi Manusia (TLHR).

Wannaphat Jenroumjit, pengacara dari TLHR yang mewakili Chambers, mengatakan bahwa dakwaan tersebut berkaitan dengan sebuah seminar daring di mana Chambers menjadi pembicara. Chambers membantah semua tuduhan.

TLHR juga menyatakan bahwa Chambers telah ditolak permohonan jaminannya. Belum ada tanggal sidang yang ditetapkan.

Apa aturan ‘lèse-majeste’ di Thailand?

Thailand memiliki salah satu undang-undang paling ketat di dunia untuk melindungi monarki dari kritik atau pencemaran nama baik.

Di bawah Pasal 112 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Thailand, siapa pun yang terbukti menghina, mencemarkan nama baik, atau mengancam raja, ratu, atau ahli waris mereka dapat dihukum penjara antara tiga hingga 15 tahun.

Undang-undang ini semakin sering digunakan dalam beberapa tahun terakhir untuk menindak mereka yang terlibat dalam protes pro-demokrasi dan anti-monarki yang melanda negara tersebut pada 2020.

Sejak saat itu, sekitar 279 orang telah didakwa dengan tuduhan lèse-majeste, menurut TLHR.

Beberapa pemimpin penting aksi protes telah dipenjara, tetapi sangat jarang ada orang asing yang didakwa berdasarkan Pasal 112.

Menurut Human Rights Watch, otoritas Thailand dikenal sering “membatasi hak-hak fundamental — terutama kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai — dengan menggunakan undang-undang lèse-majeste (penghinaan terhadap monarki), hasutan, dan kejahatan siber.”

Chambers, yang telah lama tinggal di Thailand, dikenal sebagai pakar yang meneliti pengaruh militer Thailand, yang memainkan peran besar dalam politik negara tersebut.

Sejak menjadi monarki konstitusional pada 1932, para pemimpin militer Thailand telah melakukan 13 kudeta, termasuk satu pada 2014.

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris.

(ita/ita)


Hoegeng Awards 2025


Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *