‘Hantu’ Urbanisasi Tak Menakutkan Lagi


Jakarta

Selalu menjadi kerisauan pemerintah bersamaan dengan arus balik Lebaran adalah masalah urbanisasi. Pemerintah risau sebab di tengah asyiknya menikmati hari raya, mereka dihadapkan para pencari kerja dari desa ke kota-kota besar di Indonesia dengan kemampuan yang belum tentu dibutuhkan oleh masyarakat dan pelaku usaha di kota.

Dengan bekal kemampuan dan keahlian yang kurang, misalnya hanya jenjang pendidikan SD atau SMP, tentu mereka kurang terserap di pasar kota yang dari waktu ke waktu semakin membutuhkan tenaga yang profesional, terlatih, punya pengalaman, dan menguasai teknologi informasi. Mereka yang memiliki jenjang pendidikan yang tinggi pun banyak yang tidak mendapat pekerjaan apalagi mereka yang memiliki standar di bawahnya.

Problem seperti ini bila tidak diatasi akan menimbulkan masalah di perkotaan, seperti menambah kepadatan penduduk yang merembet pada masalah tempat tinggal, kebutuhan hidup yang tidak tercukupi, hingga akhirnya berujung pada masalah kriminal dan perbuatan melanggar hukum lainnya.


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan atas terjadinya urbanisasi, Menko Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar menegaskan urbanisasi harus disertai dengan inovasi dan kesiapan individu. Mereka harus menjadi solusi ekonomi, bukan menambah masalah seperti pengangguran dan kemiskinan di perkotaan.

Meski Gubernur Jakarta Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno mengatakan Jakarta sebagai kota yang terbuka bagi siapa saja toh pada dasarnya kedua orang itu tetap meminta yang datang ke Jakarta punya bekal keterampilan dan keahlian. Namun apakah benar urbanisasi saat ini tetap menjadi masalah bagi kota-kota besar? Apakah masyarakat desa masih mengincar kota-kota besar sebagai tempat untuk mencari kerja dan rezeki?

Bila mendapat pertanyaan yang demikian, jawabannya iya tapi itu dulu. Pada dekade 80-an ke bawah, kota adalah tempat tujuan bagi orang desa untuk mengadu nasib, mencari kerja, dan tempat sebagai jalan untuk mengubah hidup. Namun seiring perjalanan waktu dengan semakin mengglobalnya dunia serta dibutuhkan tenaga kerja dari banyak negara membuat orientasi masyarakat tidak lagi menjadikan kota sebagai tujuan utama mencari kerja.

Sekarang banyak pilihan bagi masyarakat untuk mencari kerja. Salah satu pilihan itu, dan selanjutnya menjadi pilihan banyak orang, adalah mencari kerja di luar negeri. Alasan masyarakat lebih memilih mencari kerja di luar negeri; pertama, gaji dirasa lebih tinggi daripada kerja di kota di Indonesia. Mereka dibayar dengan mata uang asing seperti ringgit, dolar Singapura, dolar Brunei, real, won, yen, euro, dolar US, serta mata uang asing lainnya. Meski biaya hidup di luar negeri linear dengan tuntutan hidup di sana namun mereka masih menabung dan mengirim uang ke Indonesia.

Jangkauan masyarakat untuk bekerja keluar negeri pun semakin meluas, awalnya hanya Malaysia dan Singapura kemudian merembet ke Arab Saudi, Korea, Jepang, Taiwan, Hong Kong, negara-negara Arab lainnya seperti Qatar, UEA, hingga negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Australia, bahkan di negeri-negeri yang termasuk susah ekonominya seperti Myanmar dan Kamboja.

Semakin meluasnya jaringan dan banyak lowongan kerja di berbagai negara itulah yang membuat jumlah pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia semakin membludak baik itu legal maupun ilegal. Data menunjukkan jumlah pekerja migran Indonesia hingga Maret 2025 lebih dari 5,2 juta orang. Jumlah itu belum termasuk yang berangkat secara ilegal. Jumlah pekerja migran Indonesia secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah penduduk Singapura.

Dengan mengacu jumlah di atas, angka tersebut pastinya mengurangi migrasi dari desa ke kota yang terjadi setiap tahun terutama berbarengan dengan arus balik Lebaran.

Kedua, orang (desa) sekarang lebih memilih kerja di luar negeri sebab ada tawaran. Tawaran ini bukan dihembuskan oleh tetangga atau orang yang sudah bekerja di kota namun oleh agen-agen pencari tenaga kerja ke luar negeri dengan berbagai tujuan. Agen-agen itu hadir di desa-desa dengan membuka gerai. Syarat-syarat yang ditawarkan pun terbilang sangat mudah seperti tidak memandang ijazah, gaji besar, dan iming-iming langsung berangkat ke tempat tujuan.

Jumlah gerai lowongan kerja keluar negeri itu ada yang legal ada pula yang ilegal. Karena masyarakat awam banyak yang tidak paham membuat mereka tidak peduli. Faktor inilah yang membuat orang desa lebih suka memilih kerja di luar negeri karena ada agen resmi bukan bisik-bisik tetangga sebab ada yang mengurus keberangkatan, syarat mudah, dan tawaran gaji yang lebih menggiurkan.

Ketiga, tidak memilih urbanisasi saat ini juga dilakukan oleh kelompok yang masuk dalam katagori terlatih, terampil, dan terdidik. Beberapa bulan yang lalu tren #KaburAjaDulu. Tren itu mengajak kepada anak-anak muda khususnya untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Gerakan ini bukan gerakan politik namun gerakan alamiah yang dilakukan manusia, seperti urbanisasi, untuk mencari pekerjaan di tempat yang lebih baik.

Kondisi perekonomian di Indonesia yang tidak menguntungkan dan menyejahterakan kelompok terampil, terlatih, dan terdidik dalam dunia kerja membuat mereka akan mencari tempat-tempat lain untuk mengubah hidupnya. Ketika (kota) Indonesia perekonomiannya tidak membuat mereka hidup dengan sejahtera, secara alamiah akan mencari ke tempat lain (luar negeri).

Di medsos divisualkan bagaimana seorang perempuan lulusan universitas ternama di Indonesia lebih memilih menjadi cleaning service di Australia daripada mencari kerja di Jakarta. Ini menunjukkan dirinya tidak memilih urbanisasi meski sebenarnya mampu dengan bekal ijazahnya yang tinggi nilainya. Ia memilih kerja di luar negeri karena perekonomian di sini sedang tidak baik-baik sehingga tak menguntungkan bila tetap memilih kerja di (kota) Indonesia.

Dari paparan di atas sebenarnya ‘hantu’ urbanisasi semakin tidak menakutkan sebab jumlahnya semakin menurun dan bukan menjadi pilihan utama masyarakat (desa). Masyarakat secara alamiah akan memilih tempat yang lebih baik dan sepertinya urbanisasi bukan menjadi pilihan utama.

Ardi Winangun Direktur Indonesia Political Review (IPR)

(mmu/mmu)


Hoegeng Awards 2025


Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *