Jakarta –
Duta Besar Afrika Selatan, Ebrahim Rasool, dituding membeci Amerika Serikat dan Presiden Donald Trump. Tudingan itu membuat Rasool diusir dari AS.
Dirangkum detikcom, Sabtu (15/3/2025), pengusiran Rasool dari AS diumumkan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Marco Rubio. Pernyataan itu disampaikan via media sosial X pada Jumat (14/3) waktu setempat.
“Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika Serikat tidak lagi diterima di negara kita yang hebat ini,” tegas Rubio dalam pernyataannya, dilansir AFP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Disebutkan oleh Rubio bahwa Rasool merupakan “politisi yang gemar menghasut tentang ras, yang membenci Amerika dan membenci @POTUS” — merujuk pada sebutan Trump sebagai Presiden AS.
“Kami tidak memiliki hal untuk dibicarakan dengannya dan oleh karena itu, dia ditetapkan PERSONA NON GRATA,” ucap Rubio dalam pernyataan tersebut.
Istilah “persona non grata” merupakan istilah bahasa Latin dalam dunia diplomasi yang berarti seseorang tidak diinginkan atau tidak diterima oleh suatu negara. Penetapan ini biasanya dilakukan saat menetapkan sanksi pengusiran terhadap pejabat atau diplomat asing.
Alasan Pengusiran
Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio. Foto: AFP/ANDREW CABALLERO-REYNOLDSMenteri Luar Negeri (Menlu) Marco RubioMenteri Luar Negeri (Menlu) Marco Rubio
|
Pengusiran seorang duta besar tergolong langkah yang sangat langka oleh AS.
Dalam pernyataannya, Rubio menyertakan artikel dari outlet berita konservatif Breitbart yang mengulas soal pernyataan Rassol dalam seminar kebijakan luar negeri pada Jumat (14/3), yang membuatnya dituduh membenci AS dan Trump.
“Dia (Rasool-red) mengatakan bahwa supremasi kulit putih memotivasi ‘rasa tidak hormat’ Trump terhadap ‘tatanan hegemoni saat ini’ di dunia,” demikian bunyi artikel Breitbart.
Disebutkan juga bahwa dalam seminar itu, Rasool menyebut gerakan Make America Great Again (MAGA) yang digagas Trump “merupakan respons supremasi kulit putih terhadap keberagaman demografi yang berkembang di Amerika Serikat”.
Rasool merupakan aktivis anti-apartheid di masa mudanya dan pernah menyampaikan kemarahannya terhadap perang yang dipicu Israel di Jalur Gaza.
Afsel Selali Pengusiran Dubesnya
Foto: Bendera Afrika Selatan. Foto: AFP/CARL DE SOUZA
|
Afrika Selatan menyesalkan keputusan AS untuk mengusir Duta Besar mereka, Ebrahim Rasool, yang dituduh membenci negara itu dan Donald Trump. Otoritas Afrika Selatan menyerukan “kesopanan diplomatik” antara kedua negara.
Kantor kepresidenan Afrika Selatan dalam tanggapannya, seperti dilansir AFP, Sabtu (15/3/2025), menyebut keputusan AS mengusir Rasool itu “disesalkan”.
“Kepresidenan telah mengetahui pengusiran yang disesalkan terhadap Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika Serikat, Tuan Ebrahim Rasool,” sebut kantor kepresidenan Afrika Selatan dalam pernyataannya.
“Kepresidenan mendesak semua pemangku kepentingan yang terkait dan terdampak untuk menjaga kesopanan diplomatik yang telah ditetapkan dalam keterlibatan terkait masalah ini,” imbuh pernyataan tersebut.
“Afrika Selatan tetap berkomitmen untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan Amerika Serikat,” tegas kantor kepresidenan Afrika Selatan.
Ketegangan Antara Washington-Pretoria Meningkat
Presiden AS Donald Trump. Foto: dailymail.co.uk
|
Pengusiran Duta Besar Afrika Selatan ini menjadi perkembangan terbaru dalam meningkatnya ketegangan antara Washington dan Pretoria beberapa waktu terakhir. Pada Februari lalu, Trump membekukan bantuan AS untuk Afrika Selatan, dengan mengutip undang-undang di negara itu yang diklaim olehnya telah memungkinkan tanah dirampas dari para petani kulit putih.
Pekan lalu, Trump semakin mengobarkan ketegangan dengan mengatakan bahwa para petani Afrika Selatan dipersilakan untuk menetap di AS, setelah mengulangi kembali tuduhannya soal pemerintah Pretoria “menyita” tanah dari orang-orang kulit putih.
Dalam postingan media sosial Truth Social, Trump menyatakan bahwa “setiap petani (dengan keluarga!) dari Afrika Selatan, yang ingin melarikan diri dari negara itu demi alasan keamanan, akan diundang ke Amerika Serikat dengan jalur cepat menuju Kewarganegaraan”.
Elon Musk, miliarder AS kelahiran Afrika Selatan dan kini menjadi sekutu dekat Trump, menuduh pemerintahan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa memiliki “undang-undang kepemilikan tanah yang secara terang-terangan rasis”.
Kepemilikan tanah menjadi isu kontroversial di Afrika Selatan, dengan sebagian besar lahan pertanian masih dimiliki oleh orang-orang kulit putih tiga dekade setelah berakhirnya apartheid dan pemerintah negara itu berada di bawah tekanan untuk melaksanakan reformasi.
Halaman 2 dari 4
(taa/ygs)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu