Jakarta –
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berkesan yakin bahwa rencana nekatnya akan berhasil. Dia mendesak agar Mesir dan Yordania ke depan mau menampung pengungsi Gaza, kata dia pada Senin (27/01), hanya sepekan setelah pelantikan. Sebelumnya, dia sempat berseloroh akan “membersihkan” Jalur Gaza.
Kehidupan di Jalur Gaza toh serupa “neraka,” kata Trump lagi. Dia mengatakan, penduduk Palestina berhak hidup di “sebuah wilayah, tanpa harus menghadapi kerusuhan, pemberontakan, dan tindak kekerasan.” Entah untuk waktu sementara atau secara permanen, Trump belum merinci rencananya memindahkan warga Palestina dari tanah kelahirannya.
Langkah tersebut dikritik sebagai pemaksaan. Namun demikian, pemindahan warga Palestina dimungkinkan kendati ragam hambatan dalam hukum internasional. Trump sendiri mengaku sudah berbicara dengan Raja Yordania Abdullah II dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi.
“Saya berharap, dia akan menampung sebagian pengungsi,” kata Trump soal kesediaan al-Sisi di hadapan jurnalis. Namun, Gedung Putih membantah adanya pembicaraan telepon antara kedua kepala negara. Trump sebaliknya menegaskan, betapa “kita telah banyak membantu Mesir, jadi saya yakin al-Sisi akan pula membantu kita.”
Mesir dan Yordania tolak rencana pemindahan warga Gaza
Usulan untuk merelokasi warga Palestina ke negara tetangga telah menuai kritik besar dalam beberapa hari terakhir. Selain Uni Eropa dan negara-negara lain, perwakilan Mesir dan Yordania juga menolak terlibat.
Mesir mendukung “kegigihan teguh rakyat Palestina di tanah mereka,” kata Kementerian Luar Negeri di Kairo, lapor kantor berita. Pemerintah menolak “campur tangan apa pun terhadap hak-hak yang tidak dapat dicabut ini, baik dengan pemukiman atau aneksasi tanah atau melalui penggusuran penduduk asli dalam bentuk pengusiran.”
Posisi kerajaan di Amman serupa, menurut surat kabar pemerintah Jordan Times. Yordania diklaim tidak dan tidak akan pernah menjadi tanah air alternatif bagi Palestina. “Yordania menolak segala upaya untuk membubarkan perjuangan Palestina atau menghapus hak-hak mereka dengan dalih apa pun. Palestina tidak dapat meninggalkan tanah air mereka.”
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Perlawanan penduduk lokal
Ilmuwan politik Stephan Roll dari Institut Studi Internasional dan Keamanan, SWP, di Berlin, Jerman, menjelaskan penolakan Mesir terutama dalam hal solidaritas dan dukungan terhadap perjuangan Palestina untuk mendirikan negara. “Ini adalah masalah politik domestik yang besar… Menyerahkan lahan di Mesir dianggap tabu, terutama untuk proyek pemukiman kembali, yang oleh banyak orang Mesir dianggap anti-Palestina. Pemerintah harus mengantisipasi protes besar dari penduduk.”
Keluarga kerajaan dan pemerintah di Yordania menghadapi masalah serupa, kata Edmund Ratka, Kepala Kantor Yayasan Konrad Adenauer di Amman yang berafiliasi dengan partai konservatif CDU. Mayoritas warga Yordania menentang keras gagasan Trump karena dianggap merugikan “perjuangan Palestina”.
“Tidak seorang pun di negara ini, bahkan raja, ingin dicurigai ikut serta dalam kebijakan ini. Karena kebijakan ini akan mengompori kelompok-kelompok ekstremis di Yordania.”
Menurut Ratka, penduduk Arab di Yordania, yang merupakan tulang punggung negara, khawatir bahwa masuknya pendatang Palestina akan mengusik keseimbangan demografi dan kekuasaan kerajaan. Sentimen ini memperkuat argumen kaum ekstrem kanan di Israel, yang melihat Yordania sebagai negara alternatif bagi Palestina.
Faktanya, warga Yordania keturunan Palestina sudah mendominasi sebagian besar sektor swasta Yordania, jelas Ratka. Menurut berbagai sumber, sekitar setengah dari warga Yordania berasal dari Palestina. “Ini pula sebabnya mengapa warga Yordania yang sudah lama tinggal di sana menentang masuknya lebih banyak warga Palestina,” kata Ratka.
Skenario perang dengan Israel
Selain itu, Mesir mengkhawatirkan stabilitas keamanan terkait dengan langkah Trump, kata pakar SWP, Roll. “Sikap Kairo mencerminkan situasi di Semenanjung Sinai yang telah sangat tidak stabil selama beberapa dekade terakhir. Di wilayah yang berbatasan dengan Gaza itu, operasi militer besar-besaran oleh Kairo telah berhasil memulihkan stabilitas.”
Namun, jika kamp pengungsian yang lebih besar dibangun di Sinai, akan ada risiko meletusnya kerusuhan, yang kemudian dapat menyebar ke seluruh negeri.
“Pada saat yang sama, tentu saja ada kekhawatiran bahwa serangan terhadap Israel dapat berasal dari kamp pengungsi atau permukiman Palestina. Israel mungkin akan bereaksi, dan Mesir akan berperang dengan Israel. Ada kekhawatiran besar tentang hal itu,” kata Roll.
Di Yordania, kekhawatiran ini agak berbeda, kata Edmund Ratka. Setelah berakhirnya perang Gaza, raja dan pemerintah di Amman akan kesulitan meyakinkan penduduk tentang niat mencapai konsensus dan perdamaian dengan Israel. Perjanjian damai Israel-Yordania tahun 1994 disepakati dengan harapan bahwa Palestina suatu hari akan memiliki negara mereka sendiri.
“Namun, jika proyek negara Palestina sudah mati maka di mata banyak warga Yordania, hubungan dengan Israel harus dikaji ulang secara mendasar. Dan usulan terbaru Trump untuk pemindahan penduduk juga ditafsirkan ke arah ini.”
Mengingat pengalaman historis pengungsian dan pengusiran, tidak seorang pun di Yordania percaya bahwa relokasi warga Palestina ke negara tetangga hanya bersifat sementara.
Pengusiran warga Palestina sebagai garis merah
“Pemerintah di Amman selalu menyebut pengusiran warga Palestina dari tanah airnya sebagai garis merah,” kata Ratka. “Jika dia menyerah sekarang, dia akan terlihat lemah dan tidak berpengaruh di mata rakyatnya sendiri, tetapi juga di mata dunia internasional.”
Hal serupa berlaku di Mesir, kata Stephan Roll. “Mesir ingin tetap hadir, khususnya dalam hal rekonstruksi dan kepentingan ekonomi. Dalam hal ini, Kairo kemungkinan akan mencoba mempengaruhi Trump dan mendukung rencananya, untuk sebanyak mungkin mengurangi imbasnya.”
Terlepas dari semua kritikan, Trump benar ketika mengemukakan satu hal, kata Roll: “Jalur Gaza hancur total. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk membangunnya kembali. Di mana orang-orang Palestina akan tinggal sampai saat itu?”
Catatan: Artikel ini dilengkapi dan direvisi pada tanggal 30 Januari 2025 dan diadaptasi ke Bahasa Indonesia.
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu