Tokyo –
Musim dingin menyambut dengan cara yang mengesankan, menandai awal perjumpaan kami dengan negeri Sakura. Jepang selalu punya cara untuk menawarkan pengalaman berbeda, termasuk bagi kami yang tumbuh di bawah terik matahari tropis. Dari Bandara Narita, perjalanan kami pun dimulai, menelusuri Tokyo dalam empat belas ribu langkah.
detikcom bersama perwakilan media lain dari Indonesia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program (Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youth), sebuah program pertukaran budaya yang berlangsung selama lebih dari sepekan di Jepang. Program Jenesys untuk para jurnalis pada tahun ini diselenggarakan di dua wilayah, yaitu Tokyo dan Hokkaido.
Perjalanan diawali dari Bandara Narita, tempat kami mendarat setelah menempuh penerbangan selama kurang lebih tujuh jam dari Jakarta. Selayaknya orang Jepang yang terbiasa menghadapi musim dingin, kami pun beradaptasi dengan pendekatan yang sama, mengenakan pakaian tebal dan berlapis. Namun suhu udara dingin lima derajat itu tetap menelusup di sela-sela kain pakaian, yang memaksa kami bergegas masuk bus untuk menghangatkan diri.
Tepat pukul 9 pagi waktu setempat, bus melaju menuju Tokyo. Sepanjang perjalanan, mata kami bergerak ke sana kemari, terkesan dengan pemandangan arsitektur khas Jepang yang tertata rapi dan berpadu dengan jalanan bersih. Beberapa penumpang bus bahkan beranjak sambil menghadap ke arah kaca untuk mengabadikan pemandangan itu dengan kamera mereka.
Satu hal yang langsung terasa berbeda yaitu tak ada mobil yang saling menyalip dan tak ada terdengar klakson bersahutan. Semua tertib, termasuk pejalan kaki yang disiplin menunggu lampu hijau di pinggir trotoar sebelum menyeberang.
Sekitar 1 jam kemudian, bus yang ditumpangi peserta Jenesys tiba di Koto, Ojima. Kami langsung menuju sebuah ruangan pertemuan menjalani kegiatan orientasi. Panitia dari JICE (Japan International Cooperation Center), yang mengorganisir kegiatan pertukaran budaya ini, memberikan penjelasan mengenai rangkaian program selama seminggu, termasuk tempat-tempat yang akan dikunjungi.
Selepas itu, para peserta Jenesys 2025 menuju ke tempat makan siang yang tak jauh dari lokasi kegiatan orientasi. Kami disuguhkan makanan khas Jepang dengan nasi, ikan, tahu dan sup. Bagi sebagian besar kami, ini menjadi pengalaman unik, sebab lidah kami lebih terbiasa dengan makanan bercita rasa kuat Indonesia.
Kegiatan selanjutnya yaitu mengunjungi Asakusa, kawasan yang masih mempertahankan nuansa kehidupan masyarakat Jepang di era Edo. Pada akhir abad ke-18 hingga 19, Edo (nama lama Tokyo) dikenal sebagai salah satu kota dengan populasi tertinggi di dunia. Kala itu, Asakusa menjadi pusat budaya yang terus berkembang dan bertransformasi hingga saat ini.
Akasuka, Tokyo (Kanavino/detikcom)
|
Kami turun dari bus kemudian berjalan kaki menyusuri trotoar di antara bangunan-bangunan tinggi. Di kanan dan kiri jalan, turis hilir mudik memenuhi toko yang menawarkan beragam kuliner hingga suvenir. Hal lain yang mencuri atensi adalah adanya semacam becak tradisional yang memboyong para turis untuk mengelilingi Asakusa dengan memakai baju kimono.
Sesampainya di depan Sensō-ji, kuil Buddha paling terkenal di Asakusa, kami melihat pengunjung berbondong-bondong masuk ke area utama. Beberapa orang berkerumun di depan tempat pembakaran dupa yang besar, kemudian mengarahkan asap ke tubuh mereka yang dipercaya dapat menyucikan diri. Sementara pengunjung lain ada juga yang mencoba peruntungan dengan Omikuji, kertas ramalan yang konon dipercaya memprediksi tentang masa depan.
Kami juga berjalan menyusuri Nakamise-dori, jalanan ikonik yang dipenuhi dengan beragam toko yang menjual suvenir dan jajanan tradisional Jepang. Di sepanjang jalur itu, banyak wisatawan dari berbagai negara terlihat sibuk memilih oleh-oleh, mencicipi camilan, serta mengabadikan momen di tengah nuansa klasik yang begitu khas.
Sejam lebih berlalu, kami bergeser ke titik keramaian lain di Tokyo yaitu Akihabara, distrik yang dikenal sebagai pusat elektronik dan budaya pop Jepang. Pilihan yang tepat untuk memadukan perjalanan yang kaya unsur tradisional dan modernitas di Jepang. Setelah berjalan di Asakusa dengan nuansa bersejarah, Akihabara menawarkan hal lain yaitu wajah modern Jepang dengan berbagai toko mainan, gadget, hingga anime dan manga. Seperti kata banyak orang, rasanya tak berlebihan menyebut Akihabara sebagai ‘surga’ bagi para gamer dan pecinta anime.
Namun di luar semua itu, yang paling berkesan dari perjalanan kami bukan sekadar melihat pusat perbelanjaan, melainkan tentang cara kami menghabiskan waktu dengan berjalan kaki dari satu toko ke toko lainnya. Termasuk saat kami mengunjungi Yodobashi Kamera di Akihabara, di mana lokasi titik parkir bus ke toko cukup jauh. Berjalan kaki kini menjadi budaya yang mulai kami biasakan di Jepang.
Setelah mengitari Akihabara, kami menutup perjalanan hari pertama di Jepang dengan menikmati makan malam di Okonomiyaki Yukari. Kali ini, kami tak hanya menyantap makanan, namun juga memasaknya sendiri. Kami mengaduk adonan yang sudah disiapkan yang terdiri dari telur, udang, jagung, daun bawang, hingga tepung. Kemudian menuangkannya ke atas wajan panas. Kami membolak-baliknya agar matang merata.
Namun, karena rupanya ini pengalaman pertama, bentuk Okonomiyaki kami jauh dari sempurna. Beruntung, chef turun tangan menyelamatkan masakan kami, mengajarkan cara membentuknya dengan benar. Dan akhirnya makanan pun matang dan siap disantap. Kami juga menyadari ternyata rasanya cukup akrab di lidah kami, mirip martabak khas Indonesia.
Akihabara, Tokyo (Kanavino/detikcom)
|
Aktivitas di hari pertama pun berakhir. Kami berpulang ke hotel untuk beristirahat. Pengalaman mengesankan yang kami dapatkan selama perjalanan tersebut adalah mengenai harmoni antara tradisi dan modernitas. Namun yang paling melekat dalam ingatan kami adalah budaya berjalan kaki. Saat mengecek di aplikasi pelacak langkah, rupanya kami telah berjalan lebih dari 14 ribu langkah dalam sehari, pengalaman yang biasanya jarang kami temui di Indonesia.
(knv/azh)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu