Geger Penembakan Politisi Kamboja, Thailand Tak Aman Bagi Pembangkang


Jakarta

Kegagalan Bangkok dalam melindungi para pembangkang dan pengungsi politik kembali disorot, setelah pada tanggal 7 Januari lalu seorang mantan anggota parlemen Kamboja, Lim Kimya, ditembak mati di ibu kota Thailand. Padahal, dia baru saja tiba di Bangkok pada hari itu dengan menumpang bus dari Kamboja.

Juga ada laporan terpisah, pemerintah Thailand sedang mempersiapkan pengiriman balik 48 orang Uighur ke Cina. Warga etnis Uighur tersebut sebelumnya telah ditahan di Bangkok selama lebih dari satu dekade.

“Pembunuhan Lim Kimya dan situasi terkait etnis Uighur saat ini, menunjukkan bahwa Thailand bukanlah tempat yang aman bagi para pengungsi,” kata Patrick Phongsathorn, seorang spesialis advokasi senior di Fortify Rights, kepada DW.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Deretan panjang kekerasan terhadap pengungsi politik

Namun, pembunuhan Lim Kimya dan dugaan rencana deportasi warga Uighur itu hanyalah kasus terbaru dalam deretan panjang insiden kekerasan terkait migran di Thailand.

Pada November 2024, otoritas Thailand secara paksa mengembalikan enam aktivis oposisi ke Kamboja untuk dihadapkan pada tuduhan pengkhianatan. Padahal, mereka memiliki status pengungsi yang diakui oleh PBB.

Pada pertengahan 2024, Bangkok juga menangkap Y Quynh Bdap, seorang aktivis hak-hak etnis minoritas Vietnam, menyusul permintaan ekstradisi dari Hanoi.

Setahun sebelumnya, Bounsuan Kitiyano, seorang aktivis politik Laos yang juga memiliki status pengungsi PBB, dibunuh di provinsi Ubon Ratchathani, Thailand bagian timur laut.

Pada tahun 2015, Thailand juga memulangkan 109 tahanan Uighur ke Cina, sebuah keputusan yang dikecam secara luas. 48 orang lainnya yang diduga akan dideportasi berdasarkan laporan terbaru, saat ini masih berada di penjara Thailand.

Menurut Phongsathorn, mengirimkan warga etnis Uighur kembali ke Cina, adalah sebuah tindakan ilegal. Uighur adalah sebuah kelompok etnis yang sebagian besar beragama Islam di provinsi Xinjiang, Cina bagian barat laut, yang kerap mendapat persekusi dari Beijing.

“Pemerintah tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga undang-undang anti-penyiksaannya sendiri, yang melindungi individu dari deportasi ke tempat-tempat di mana mereka menghadapi penyiksaan atau penganiayaan,” kata Phongsathorn.

Tak ada keamanan di Asia Tenggara

Bukan hanya Thailand, negara-negara lain di Asia Tenggara juga tampaknya mengikuti tren yang sama.

Dalam sebuah email kepada DW, Amnesty International mengaku telah “mengamati eskalasi penindasan transnasional yang mengkhawatirkan” di Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar.

“Para aktivis, pembela hak asasi manusia, dan pembangkang politik yang melarikan diri dari negara asalnya, dengan harapan mendapatkan tempat berindung yang aman, akhirnya menghadapi penculikan, penghilangan paksa, pembunuhan, dan pemulangan paksa ke tempat-tempat di mana mereka terancam menghadapi pelanggaran hak asasi manusia,” kata Chanatip Tatiyakaroonwong, peneliti Amnesty International untuk Thailand dan Laos.

Sebagai contoh, aktivis hak asasi manusia Thailand, Wanchalearm Satsaksit, menghilang di Kamboja pada tahun 2020. Setahun sebelumnya, tiga aktivis Thailand, Chucheep Chiwasut, Siam Theerawut, dan Kritsana Tupthai, hilang setelah dilaporkan ditangkap di Vietnam. Keberadaan mereka masih belum diketahui.

Pada akhir 2018, mayat dua aktivis anti-kerajaan Thailand, Chatcharn Buppawan dan Kraidej Luelert, ditemukan tertimbun beton di tepi Sungai Mekong.

Menurut Chanatip, identitas para pelaku masih belum diketahui dalam banyak kasus, “meskipun ada kecurigaan kuat akan keterlibatan negara, karena para korban adalah para pengkritik dan pembangkang.”

Polisi klaim pembunuhan Lim Kimya tidak bermotif politik

Komisaris Polisi Thailand, Jenderal Pol Kitrat Phanphet, terkait penembakan Lim Kimya di Bangkok mengatakan, kejahatan tersebut “tidak bermotif politik, tetapi berasal dari konflik pribadi.” Kitrat tidak merinci bagaimana polisi bisa sampai pada kesimpulan tersebut.

Namun, politisi Kamboja Sam Rainsy menuding mantan penguasa Kamboja, Hun Sen, sebagai dalang di balik pembunuhan tersebut.

“Puluhan anggota oposisi telah dibunuh tanpa proses hukum,” kata Rainsy dalam sebuah unggahan online, seraya menambahkan bahwa dirinya juga menghadapi beberapa percobaan pembunuhan.

Pada hari Lim Kimya ditembak, yang bertepatan dengan peringatan runtuhnya rezim Khmer Merah, mantan PM Hun Sen, yang pada tahun 2023 menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Hun Manet, menyerukan undang-undang baru untuk melabeli mereka yang berusaha menggulingkan pemerintahan putranya sebagai “teroris.”

Faktor kedekatan Bangkok dan Phnom Penh

Dalam wawancara dengan DW, Tyrell Haberkorn, seorang profesor studi Asia Tenggara di University of Wisconsin-Madison, mengatakan kasus Lim Kimya adalah “bagian dari penganiayaan yang sudah berlangsung lama dan tidak berubah” terhadap para pengungsi politik dan pencari suaka di Thailand.

“Apa yang memungkinkan hal ini terjadi dengan impunitas, adalah keengganan untuk menyelidiki atau meminta pertanggungjawaban para pelaku,” katanya.

Selain itu, pemerintah Thailand dan Kamboja juga memiliki hubungan yang sangat dekat.

Sebuah laporan dari Human Rights Watch pada tahun 2024, mengaitkan “intimidasi dan pelecehan, pengawasan, dan kekerasan fisik” yang dihadapi para pembangkang Kamboja di Thailand, dengan dekatnya hubungan antara Hun Sen dan mantan Perdana Menteri Thailand, Jenderal Prayuth Chan-ocha.

Setelah pembunuhan Lim Kimya, otoritas Thailand harus menentukan “apakah ada kolusi antara elemen-elemen politik di Thailand dan Kamboja,” kata Phonsathorn kepada DW.

Thailand menjadi lebih aman dengan bergabung ke UNHRC?

Terlepas dari kegagalannya melindungi para pembangkang, Thailand sukses mewujudkan targetnya mendapatkan kursi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) tahun lalu. Keanggotaannya telah dimulai pada 1 Januari dan akan berlaku selama tiga tahun.

“Kinerja hak asasi manusia Thailand akan berada di bawah pengawasan yang lebih ketat, dan negara serta pemerintah Thailand akan memiliki standar yang lebih tinggi sebagai anggota UNHRC,” jelas Phongsathorn.

Meski begitu, masih belum jelas bagaimana keanggotaan ini akan berdampak pada dugaan kesepakatan dengan pemerintah lain “terkait penindasan transnasional,” tambahnya.

Sementara Chanatip mengatakan: “Pemerintah Thailand harus menggunakan keanggotaannya sebagai kesempatan untuk menjadi pemimpin dalam meningkatkan hak-hak pengungsi dan pencari suaka, baik di Thailand maupun di seluruh kawasan.”

Diadaptasi dari artkel DW bahasa Inggris

(ita/ita)

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *