Jakarta –
Akhirnya, putusan yang dinantikan oleh banyak orang itu dibacakan juga. Putusan yang dimaksud adalah Putusan Nomor 62/PUU/XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis (3/1). Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menyatakan pasal tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang Pemilu dihapus. Keputusan ini diambil setelah hakim-hakim MK menemukan bahwa pasal tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi.
Apa alasan MK mengambil kesimpulan tersebut? Kalau kita merujuk pada pertimbangan hukum dalam putusan nomor 62 ini, kita akan menemukan bahwa dalam memutus perkara ini, MK secara dominan menggunakan pendekatan historis atau original intent. Secara teori, jenis pendekatan ini menggunakan sudut pandang pembentuk konstitusi sebagai mata pisau untuk menilai apakah suatu pasal dalam undang-undang bertentangan dengan suatu pasal atau semangat dalam konstitusi atau tidak.
Sebagai contoh, jika seseorang menggugat Pasal 1 dalam Undang-Undang Pemilu ke MK, dan menjadikan Pasal 1 UUD NRI 1945 (konstitusi) sebagai dasar pengujian, maka MK akan menelusuri alasan historis mengapa Pasal 1 UUD NRI 1945 dibuat oleh pembentuk konstitusi. Biasanya, proses penelusuran ini akan menggunakan Risalah Rapat pembentuk konstitusi sebagai sumber data utama. Melalui risalah ini, MK akan mencari makna atau latar belakang terbentuknya Pasal 1 UUD NRI 1945 tersebut berdasarkan sudut pandang atau perspektif pembentuknya.
Setelah melakukan penelusuran tersebut, MK akan menarik kesimpulan apakah Pasal 1 dalam Undang-Undang Pemilu yang digugat tersebut bertentangan dengan makna atau latar belakang terbentuknya Pasal 1 UUD NRI 1945 berdasarkan sudut pandang pembentuknya atau tidak. Jika kesimpulannya adalah bertentangan, maka pasal yang digugat tersebut akan dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Sebaliknya, jika kesimpulannya berkesesuaian atau tidak bertentangan maka pasal yang digugat tersebut akan dinyatakan konstitusional oleh MK.
Nah, cara seperti ini yang digunakan oleh MK untuk memutus perkara nomor 62 tentang ambang batas pencalonan presiden. Paling tidak, disimpulkan dari pertimbangan hukum hakim dalam perkara ini, ada dua penilaian yang secara dominan mencerminkan bahwa hakim MK menggunakan pendekatan historis atau original intent dalam memutus perkara nomor 62 ini.
Penilaian pertama adalah ketika MK menguji pasal ambang batas pencalonan presiden dengan Pasal 6A UUD NRI 1945. Setelah melakukan penelusuran terhadap latar belakang lahirnya pasal tersebut menurut sudut pandang pembentuknya, MK menyimpulkan bahwa pengaturan tentang ambang batas pencalonan presiden telah melampaui kewenangan yang diberikan oleh ayat 5 pasal ini.
Ayat 5 pasal ini secara jelas menyatakan bahwa “tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.” Menurut penelusuran MK, makna ayat ini adalah bahwa pembentuk konstitusi mendelegasikan kewenangan untuk mengatur tata cara atau teknis pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden). Namun, pengaturan mengenai teknis atau tata cara ini tidak boleh melampaui atau bahkan melanggar semangat Pasal 6A UUD NRI 1945 itu sendiri.
Semangat yang dihadirkan oleh Pasal 6A UUD NRI 1945 adalah bahwa setiap partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tanpa terkecuali berhak untuk mencalonkan seseorang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden. Nah, menurut MK, aturan tentang ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan semangat ini karena aturan ambang batas mengebiri hak konstitusional dari setiap partai politik atau gabungan partai politik yang telah diberikan oleh Pasal 6A UUD NRI 1945.
Pengebirian hak terjadi karena aturan ambang batas pencalonan membuat sebagian partai politik peserta pemilu tidak dapat mencalonkan seseorang menjadi kandidat dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Hal ini karena aturan ambang batas pencalonan membuat persyaratan bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara dalam pemilu sebelumnya yang dapat mengajukan calon.
Akibatnya, misalnya, pada Pilpres 2024 lalu hanya PDIP yang dapat mengajukan calonnya sendiri. Sedangkan, parpol lainnya tidak dapat mengajukan calonnya sendiri tanpa berkoalisi. Padahal, Pasal 6A UUD NRI 1945 memberikan hak kepada setiap parpol peserta pemilu untuk dapat mengajukan calonnya sendiri tanpa keharusan atau persyaratan harus mendapat minimal sekian kursi di DPR atau persentase suara tertentu.
Penilaian kedua adalah ketika MK menelusuri kesepakatan pembentuk konstitusi manakala mereka menyusun naskah perubahan sepanjang 1999-2002. Kesepakatan tersebut adalah bahwa mereka menginginkan agar konstitusi yang terbentuk memiliki sistem presidensial. Nah, menurut MK, aturan tentang ambang batas pencalonan presiden tidak mendukung keinginan pembentuk konstitusi untuk menyusun konstitusi yang memperkuat karakter sistem presidensial murni.
Begini. Sistem presidensial murni secara prinsip memisahkan cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Itu sebabnya, berbeda dengan sistem parlementer yang hanya ada satu pemilu (yaitu memilih parlemen saja), dalam sistem presidensial ada dua pemilu sekaligus, yaitu pemilu presiden dan pemilu parlemen. Adanya dua pemilu ini membuat parlemen dan presiden masing-masing memiliki legitimasinya sendiri yang diperoleh langsung dari rakyat karena masing-masing dari mereka dipilih oleh rakyat secara langsung dalam pemilu.
Namun, adanya aturan ambang batas pencalonan merusak prinsip pemisahan cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial ini. Hal ini karena, menurut MK, aturan ini memaksakan logika sistem parlementer ke dalam sistem presidensial murni. Sebab, aturan ambang batas ini mensyaratkan agar parpol memperoleh jumlah kursi tertentu di parlemen (DPR) agar dapat mencalonkan seseorang menjadi kandidat presiden. Dengan demikian, aturan ambang batas ini menggantungkan pemilihan presiden pada hasil pemilihan lembaga legislatif seperti yang terjadi dalam sistem parlementer yang seharusnya tidak terjadi pada sistem presidensial murni.
Calon Akan Banyak?
Putusan Nomor 62 yang menghapus aturan tentang ambang batas pencalonan presiden disambut baik oleh banyak orang. Mereka merayakannya di media sosial dan menyelamati para penggugat yang berhasil “melunakkan” hakim MK setelah lebih dari tiga puluh kali gagal. Harapan mereka satu; setelah aturan ini dihapuskan, pada Pemilu 2029 nanti akan ada banyak pilihan presiden dan wakil presiden. Tapi, benarkah akan demikian?
Menurut hemat saya, calonnya tidak akan sebanyak yang dibayangkan. Karena, tidak setiap parpol akan mengusung calonnya sendiri meskipun diperbolehkan setelah aturan ambang batas pencalonan dihapus. Hal ini karena setiap partai politik akan mempertimbangkan kemungkinan menang yang sangat kecil melawan calon petahana yang menurut sejarah pilpres di Indonesia selalu maju pada pemilu berikutnya. Misalnya, SBY setelah selesai masa jabatannya kembali ikut pilpres 2009; dan Jokowi setelah selesai masa jabatannya kembali maju sebagai calon untuk kedua kalinya pada Pilpres 2019.
Oleh karena itu, berkaca dari pengalaman tersebut, besar kemungkinan Prabowo Subianto akan kembali maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2029 mendatang. Kemungkinan kembali majunya Prabowo sebagai calon petahana inilah yang nantinya akan menghambat parpol untuk memajukan kandidat presidennya sendiri.
Hal ini karena, menurut hasil penelitian dari Javier Coralles dan Michael Penfold (2014), calon presiden petahana menikmati kesempatan sebesar 90 persen untuk memenangkan masa jabatan kedua berturut-turut, dan peluang 83 persen untuk pemilihan kembali berikutnya, sehingga secara efektif ada 62,8 persen peningkatan peluang terpilih kembalinya seorang calon presiden petahana. Akibatnya, setiap parpol akan berpikir ketika hendak memajukan kandidatnya sendiri karena peluang menangnya relatif kecil sementara biaya untuk ikut berkompetisi dalam pilpres sangat besar.
Rino Irlandi mahasiswa Program Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(mmu/mmu)