Jakarta –
Menteri Kebudayaan Fadli Zon membuka pameran seni bertajuk Jejak Perlawanan Sang Presiden 2001 sebagai tribut untuk mendiang seniman Hardi (1951-2023). Dia mengungkap karya Hardi penuh dengan muatan kritik di dalamnya.
“Ya (karya Hardi bermuatan kritik), selama ini juga selalu seperti itu, ya. Saya kira ada satu otoritas di dalam sebuah pameran antara pelukis, perupa, dan kurator, dan galeri. Tapi tentu saja mestinya juga ada batas-batas bukan dalam soal kritiknya, tapi di manapun saya kira ada limitasi,” ucap Fadli kepada wartawan di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2025).
Fadli Zon kemudian mengatakan jika kritik memang perlu ada batasannya. Terlebih menurutnya Indonesia berbudaya lebih ke timur-timuran yang menjunjung adab.
“Di Jerman saja kalau ada orang yang pakai Nazi, langsung dihentikan. Bahkan langsung dieksekusi secara hukum. Coba anda ke Jerman pakai baju, pakai lambang Nazi Swastika, pasti langsung ditangkap sama polisi,” tutur Fadli.
“Padahal itu peristiwanya sudah 75 tahun atau 78 tahun. Jadi kebebasan itu juga pasti ada batasnya,” sambung dia.
Meski begitu, Fadli Zon menegaskan kritik menggunakan media kesenian diperbolehkan. Namun, nantinya untuk pameran seni di galeri tetap akan ada kuratorial.
“Tapi saya kira kalau kritik-kritik terhadap apapun situasi keadaan, semuanya sangat terbuka, sangat bisa, sangat boleh. Itu tergantung kepada kurator dan dewan kurator nanti yang akan kita bentuk juga di Galeri Nasional. Karena sudah ada pemerintahan baru,” jelasnya.
Tak hanya itu, kritik bagi Fadli Zon merupakan vitamin. Selain itu mengungkapkan kritik juga dilindungi undang-undang.
“Ya, menurut saya kritik itu juga merupakan vitamin bagi sebuah kemajuan. Tidak ada kemajuan yang bisa kita nikmati tanpa adanya masukan kritik gitu ya. Saya kan juga, ya waktu saya di DPR juga tukang kritik juga gitu ya. Itu juga bagian dari saya kira hal yang biasa. Kebebasan berekspresi itu memang dijamin juga oleh undang-undang dasar kita,” jelas dia.
(dek/dek)