Seorang pria berusia 42 tahun dijatuhi hukum cambuk di negara bagian Terengganu, Malaysia. Dia dihukum karena melakukan pelanggaran syariat Islam usai berduaan dengan seorang wanita yang bukan istri atau kerabatnya (mahram).
Jumat (27/12/2024) kantor berita Bernama melaporkan pria yang berprofesi sebagai pekerja konstruksi itu dicambuk enam kali setelah dihukum oleh pengadilan Syariah.
Itu adalah contoh pertama hukuman cambuk yang diperintahkan pengadilan Syariah yang terjadi di luar lingkungan pengadilan di Malaysia.
Seorang jurnalis AFP melihat pria itu dibawa ke masjid dengan mobil tahanan setelah salat Jumat. Pelaku mengenakan pakaian tahanan oranye saat dia masuk di hadapan kerumunan.
Hukuman cambuk sebagai hukuman atas kejahatan Islam yang dikenal sebagai ‘khalwat’ dilakukan di dalam masjid setelah sekitar 90 orang hadir.
Awal minggu ini, Asosiasi Pengacara Malaysia mengatakan bahwa mereka sangat prihatin atas keputusan untuk mencambuk pria tersebut.
“Hukuman seperti itu merampas martabat seseorang,” kata sebuah pernyataan.
Warga yang menyaksikan hukum cambuk, Mohd Sabri Muhammad, mengatakan bahwa ia berharap hukuman itu akan menghalangi mereka yang tergoda untuk melakukan tindakan tidak bermoral.
“Hari Valentine, Tahun Baru, ada banyak kesempatan bagi kaum muda untuk terlibat dalam perilaku yang tidak pantas,” kata pria berusia 37 tahun itu kepada AFP.
Malaysia yang multietnis memiliki sistem hukum dua jalur, dengan pengadilan Islam menangani beberapa masalah bagi warga negara Muslim.
Hukuman cambuk biasanya dilakukan pada orang yang berpakaian lengkap dan para kritikus mengatakan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mempermalukan sekaligus menghukum secara fisik orang yang dicambuk.
Pada tahun 2018, dua wanita yang dinyatakan bersalah karena melanggar hukum agama dengan melakukan hubungan seksual dicambuk di hadapan lebih dari 100 penonton di pengadilan Islam.
Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia mengatakan minggu lalu bahwa “hukuman yang menimbulkan kekerasan fisik dan penghinaan di depan umum tidak memiliki tempat dalam sistem peradilan modern”.