Jawaban PDIP Kala Sikap soal PPN 12% Dibanjiri Kritik

Partai koalisi pemerintah hingga sejumlah pihak mengkritik PDIP atas kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen. PDIP yang dituding sebagai inisiator kenaikan PPN lantas memberi jawaban.

Sebagai informasi, asal muasal dasarnya kenaikkan PPN ini, yakni Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021 di DPR. PDIP lantas meminta agar Presiden Prabowo Subianto menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen.

Sejumlah politisi dari berbagai partai pendukung pemerintah lantas mengkritik PDIP atas sikap penolakan tersebut. Mereka menilai PDIP tidak konsisten dan cenderung cuci tangan.

Mereka menuding PDIP lah yang sebetulnya menginisiasi kenaikan PPN 12 persen tersebut. Selain itu, PDIP juga disebut sebagai ketua panja RUU yang menyebabkan PPN naik jadi 12 persen.

Lantas apa respons PDIP?

 

PDIP Tak Bermaksud Menyalahkan Prabowo

 

Deddy Sitorus
Foto: Rifkianto Nugroho

 

 

Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menegaskan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% melalui pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP. Deddy mengatakan partainya tak bermaksud menyalahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Deddy menjelaskan, pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) periode lalu. Saat itu, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai ketua panitia kerja (panja).

“Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan,” kata Deddy dalam keterangannya, Senin (23/12).

Deddy menjelaskan, pada saat itu UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Indonesia dan global dalam kondisi yang baik. Akan tetapi, kata Deddy, seiring perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk dikaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12%.

Kondisi tersebut di antaranya, menurut PDIP, seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang saat ini terus naik.

“Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujarnya.

Oleh karena itu, Deddy menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12% ini hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Permintaan itu, bukan berarti PDIP menolaknya.

“Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” tuturnya.

Fraksi PDIP, kata dia, hanya tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo imbas kenaikan PPN 12% ini.

“Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru,” ujar anggota Komisi II DPR RI itu.

“Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat silahkan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” imbuhnya.

PDIP Ajak Cari Jalan Keluar

 

Lebih lanjut, Juru bicara (jubir) PDIP, Chico Hakim, meminta semua pihak tak saling menyalahkan soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. PDIP keberatan jika kesalahan dititikberatkan kepada mereka.

“Jadi salah besar kalau dikatakan inisiatornya adalah PDIP. Dan lebih salah lagi kalau dikatakan PDIP harus bertanggung jawab karena UU HPP itu adalah produk DPR RI secara kelembagaan. Saat itu ada 8 fraksi yang menyetujui,” kata Chico.

Chico menyebutkan yang terpenting saat ini adalah mencari jalan keluar terkait kenaikan pajak yang sudah didasarkan pada undang-undang. Ia menyebutkan UU HPP memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menaikkan pajak di rentang 5-15%.

“Tetapi akar masalahnya bukan soal siapa yang inisiasi atau bertanggung jawab, melainkan bagaimana mencari jalan keluar. UU HPP yang memberi keleluasaan menaikkan PPN dari rentang 5-15% itu dibuat dengan asumsi kondisi makro dan mikro ekonomi dalam kondisi normal,” katanya.

“Sementara saat ini semua indikator ekonomi menunjukkan situasi yang tidak kondusif. Dari sudut fiskal APBN kita tahun ini defisit sekitar Rp 400 triliun dan tahun depan diproyeksikan defisit mencapai 1.500 triliun. Dari sisi moneter, nilai tukar rupiah sudah menembus angka psikologis Rp 16.000, bahkan mencapai Rp 16.300 dan akan terus jatuh hingga Februari 2025,” ungkapnya.

Ia menyoroti gelombang PHK yang sedang terjadi di beberapa perusahaan RI. Chico meminta ada penundaan dari kenaikan pajak itu.

“Tentu saja ini bukan salah Presiden Prabowo atau siapa pun tetapi kondisi-kondisi yang memerlukan pertimbangan untuk pemberlakuan PPN 12%. PDI Perjuangan tidak menolak UU HPP, tetapi meminta pemerintah mengkaji ulang secara serius dampak kenaikan itu bagi masyarakat,” kata dia.

Chico meminta pemerintah mengkaji ulang terkait itu. Ia menyoroti masyarakat tingkat menengah-bawah yang akan terdampak dari kenaikan PPN menjadi 12%.

“Apakah Januari tahun depan adalah waktu yang tepat atau tidak atau kita harus menunggu indikator-indikator ekonomi sedikit lebih baik? Jika pemerintah menganggap bahwa penerapan kenaikan HPP tahun depan sudah tidak bisa ditunda dan tidak berdampak bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, silakan saja. Mari kita sama-sama berdoa agar pemerintah memiliki skenario dan rencana mitigasi,” imbuhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *