Jakarta –
Judul Buku: Kenangan Yang Terbakar: Catatan Perjalanan Karier drh. Liang Kaspe; Penulis: Iryani Syahrir; Penerbit: Padmedia Publisher, Juni 2024; Tebal: xv + 241 hal.
Ketika sedang membuka aplikasi WhatsApp, saya tidak sengaja melihat story teman tentang sebuah film berjudul Flow. Film tanpa dialog yang semua tokohnya adalah hewan ini sudah menarik perhatian saya sejak kemunculan trailer-nya. Satu pertanyaan wajib yang selalu saya tanyakan ketika ada film yang bercerita tentang hewan, “Hewannya ada yang mati nggak?”
Saya paling tidak bisa kalau soal hewan. Masih trauma menonton Hachiko yang nyeseknya sampai sekarang. Begitu pula film-film lain, kalau hewannya ada yang tersiksa atau mati, sudah jelas akan saya lewatkan. Saya hanya mau menonton kalau ceritanya berakhir bahagia. Cerita sedih tentang hewan itu bagi saya lebih menyedihkan daripada tentang manusia.
Kedekatan saya dengan hewan memang sudah terjalin sejak kecil. Rumah saya di desa sudah seperti kebun binatang mini. Ada berbagai macam burung, ayam, kucing, kelinci, dan kura-kura. Saya pernah punya peliharaan ayam bernama Sasha dan Sashi yang saya rawat dari kecil karena ditinggal mati induknya. Tidur pun bareng mereka. Sedangkan kucing adalah hewan yang selalu ada dari saya kecil hingga sekarang. Ke mana-mana saya pasti dihampiri kucing.
Bahkan ada kucing yang hanya datang untuk dikubur dengan layak. Kata teman saya, mungkin di kehidupan sebelumnya saya adalah induk kucing. Saya memang tidak tega dan akan melakukan hal sebisa saya kalau ada kucing di dekat saya yang butuh pertolongan meski pada saat itu sedang tidak ada dana. Beruntung saya dipertemukan dengan dokter hewan baik hati yang bayar kliniknya bisa dicicil sesuai kemampuan saya. Sungguh langka, bukan? Selama ini persepsi tentang dokter hewan adalah orang yang banyak uangnya karena biaya kinik hewan memang tidak murah.
Kesukaan saya dengan dunia hewan mendorong saya untuk hadir dalam diskusi buku Kenangan yang Terbakar karya Iryani Syahrir. Buku ini bercerita tentang perjalanan karier Liang Kaspe, dokter hewan yang mengabdikan hidupnya selama 33 tahun di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Masih ingat dalam ingatan saya tentang kasus matinya satwa di KBS beberapa tahun silam, dan drh. Liang Kaspe tentu saja otomatis langsung terhubung dengan kasus ini.
Sebagai orang di luar Surabaya tentu saja penasaran dengan cerita sebenarnya. Apakah satwa-satwa di sana benar-benar tidak diperlakukan secara layak? Entahlah, ketika mendengar kata “kebun binatang”, yang terpanggil dari memori saya adalah hewan-hewan yang tersiksa di kandang, kurus, dan tidak terawat. Hal yang membuat saya trauma pergi ke kebun binatang.
Namun buku ini tidak menceritakan tentang gegeran dan intrik politik dalam KBS; buku ini bercerita tentang kisah hidup Liang Kaspe dengan para satwa KBS. Jangan jiper dulu melihat ketebalan halaman buku ini, karena 254 halaman ini saya jamin akan selesai dengan cepat karena tiap babnya akan membuat pembaca ingin lanjut dan lanjut lagi. Bab dimulai dengan pengalaman drh. Liang pertama masuk kerja di KBS pada Hari Raya Idul Fitri.
Seperti pada umumnya newbie, pasti akan merasa kikuk, tidak tahu harus berbuat apa, dikerjain senior, dan sebagainya. Kalimat, “Kamu kan dokter hewan, masa gitu aja nggak bisa?” adalah makanan sehari-hari baginya. Namun karena drh. Liang adalah orang yang gigih belajar dari siapa saja dan dukungan penuh dari papinya, ia bisa melewati semua itu.
Bab-bab berikutnya bercerita tentang pengalaman drh. Liang berinteraksi dengan satwa. Yang menarik, bab dari buku ini ditulis dengan format “satu bab satu cerita satwa”. Di atas tulisan judul bab pun ada gambar hewan yang diceritakan dalam bab –detail kecil yang menarik. Kalau bisa mengibaratkan, membaca bab buku ini seperti menonton series yang satu episode selesai menceritakan satu tokoh.
Saya bisa mengatakan kalau buku ini sangat filmis; ketika membaca cerita ini, kita bisa memvisualisasikan kira-kira seperti apa adengannya. Iryani Syahrir sebagai penulis berhasil menjahit cerita dengan apik. Dari perkenalan, konflik, dan ending yang dibuat benar-benar seperti series atau film. Meski ada pembaca yang bilang kalau buku ini bisa dibaca dari bab mana saja, saya lebih suka membacanya dengan urut. Karena penyajian cerita dalam buku ini seperti alur film yang dimulai dari pengenalan tokoh, pengembangan karakter hingga ending.
Semua bab dalam buku ini menarik. Saya akan membagikan beberapa di antaranya. Saya tidak bisa membayangkan rasanya sebagai dokter hewan junior yang belum pernah menangani satwa liar harus dihadapkan kasus yang harus sat-set dalam pengambilan keputusan. Menjahit luka harimau setelah berkelahi, menyuntik lumba-lumba dan duyung, menjadi pengganti induk jerapah, kejar-kejaran dengan badak dan kuda nil, membantu kelahiran kuda nil yang penuh drama, digigit singa, sedih karena banyak unta yang mati, hingga menemani unta dan gajah pawai di tengah kota.
Cerita para keeper juga menarik bagi saya. Karena tentu saja drh. Liang tidak bekerja sendiri; ada para keeper yang selalu menemani drh. Liang dalam bekerja. Para keeper tersebut lebih berpengalaman dalam berinteraksi dengan satwa, jadi drh. Liang banyak belajar dari mereka. Yang paling saya ingat adalah Pak Maridjo. Penulis berhasil menggambarkan interaksi Pak Maridjo dengan satwa, dan kolaborasi Pak Maridjo dengan drh. Liang, terutama di momen-momen menegangkan dengan ciamik.
Meskipun saya skeptis dengan animal communicator yang mengkomersilkan keahliannya, saya percaya ada orang yang memang punya bakat untuk mengerti bahasa dan kemauan hewan. Hal ini yang saya tangkap dari buku ini. Berkali-kali saya dibuat heran, kok bisa ya para satwa itu manut-manut saja kalau drh. Liang yang menangani. Bukan berarti mereka tidak bisa menyerang ketika tidak mood.
Di bab yang menceritakan tentang Winggo, anak singa yang sedang tidak mood ketika kalungnya dilepas dan akhirnya menyerang drh. Liang dan satu keeper lain, saya ikut tegang. Kasus tersebut sampai ke media, membuat drh. Liang di-gips selama tiga bulan, dan selalu mendapat “nyanyian” dari ibunya setiap hari. Namun hal tersebut tidak membuat kapok. Ada momen mengharukan ketika drh. Liang minta maaf pada singa yang menyerangnya dan singa tersebut juga terlihat menyesal telah menyerang. Mereka pun berpelukan.
Cerita yang menarik lagi bagi saya adalah ketika drh. Liang membantu kelahiran kuda nil. Saya heran, kok bisa ya penulis menulis dengan detail kejadian tersebut. Kita benar-benar seperti ikut dalam kandang dan capek sendiri. Dan, ikut terhenyak ketika bayi kuda nil yang dikira mati karena sudah 18 jam kesulitan keluar dari jalan lahir, ternyata hidup. Bayi kuda nil tersebut diberi nama Mukjizat.
Untuk krisis cerita ini saya tangkap di kasus kematian unta dari Australia. Ini benar-benar sangat filmis. Bagaimana drh. Liang mencari penyebab kematian unta dengan membaca banyak literatur dan kejar-kejaran dengan waktu agar masih ada unta yang diselamatkan, bertengkar dengan staf ahli yang sok tahu (drh. Liang memang tegas kalau menurut ia benar), frustrasi dan ingin mengundurkan diri, ini seperti bagian dari pertengahan film menjelang akhir. Dan, tentu saja hasilnya happy ending.
Cerita ditutup dengan adegan drh. Liang yang harus mengendalikan Manis, gajah kesayangannya yang diikutkan pawai HUT Kota Surabaya. Bagaimana drh. Liang yang harusnya tidak bertugas dan sedang menemani anjingnya pameran di Malang, tetap saja ditelepon untuk pulang ke Surabaya. Sekali lagi kita harus ikut tegang membaca cerita drh. Liang yang mengejar waktu dengan naik bus dari Malang ke Surabaya, naik taksi menerobos kerumunan, dan akhirnya bisa bertemu Manis.
Tentu saja dalam pawai tersebut Manis banyak berulah karena ada petasan dan bunyi-bunyi keramaian. Khusus bagian pawai satwa ini, saya memprediksi akan mengundang kritik dari pecinta satwa. Kok bisa ya manusia setega itu memaksa satwa di kerumunan, atraksi, dan membuat mereka stres dan mengamuk. Hal yang sama ketika ada pertunjukan sirkus.
Saya ikut sedih ketika foto-foto dokumentasi drh. Liang selama bekerja di KBS habis terbakar. Kebakaran rumah yang membuat drh. Liang seperti kehilangan hidupnya. Kejadian itu yang melatarbelakangi buku ini diberi judul Kenangan yang Terbakar. Buku yang tertunda 10 tahun dari rencana penerbitannya. Keputusan tepat penerbit Padmedia untuk menerbitkan buku ini. Dari buku ini pembaca jadi tahu bagaimana kehidupan di dalam KBS dari sudut pandang dokter dan para keeper, tidak hanya dari media yang tentu saja masih bisa diperdebatkan kebenarannya.
Pembaca juga disuguhi persepsi lain dari seorang dokter hewan. Tidak semua dokter hewan adalah orang yang kaya karena tarif kliniknya sangat mahal. Ada dokter hewan yang benar-benar bekerja dengan hati, mencintai hewannya sampai tidak memikirkan kepentingan pribadinya sendiri.
Buku memoar Kenangan yang Terbakar ini cocok dibaca oleh pecinta hewan, dokter hewan, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, dan siapa saja. Kita tahu bahwa orang-orang terpilih seperti drh. Liang, dokter apung, dr. Lo, dan orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan, lingkungan, dan makhluk hidup lain seperti ini sangat jarang. Semoga saja ketika membaca buku ini akan ada drh. Liang-drh. Liang lain yang menjadi penerus selanjutnya.
Impian Nopitasari mamak dari lima anabul dan penggemar anime
(mmu/mmu)