Jakarta –
Pemilu Kepala Daerah 2024 sudah selesai digelar. Suporter sepakbola menjadi rebutan di masa kampanye, signifikansinya sebesar apa?
Pada 27 November 2024, Pilkada serentak digelar di Indonesia. Sebanyak 545 daerah menggelar pesta demokrasi untuk memilih pemimpin baru di daerahnya.
Di antara nama yang masuk ke dalam daftar pemilih tetap Pilkada, jelas ada yang juga merupakan suporter klub sepakbola. Jumlahnya tak sedikit, hingga ada pendekatan khusus untuk melakukan penetrasi ke kelompok-kelompok suporter agar mau memberikan suara ke salah satu pasangan calon.
Ada dua daerah pemilihan yang menarik. Satu tingkat provinsi, Daerah Khusus Jakarta, dan satu tingkat kotamadya, Kota Semarang.
Di Jakarta, pasangan calon kepala daerah berlomba untuk memikat The Jakmania, suporter Persija Jakarta, agar bisa memberikan dukungan. Jumlah The Jak yang terdaftar mempunyai kartu tanda anggota memang cukup banyak, sekitar 160 ribu di seluruh Indonesia.
Jumlah itu memang tak semua mempunyai hak suara di Jakarta. Tapi, tetap saja angka yang dimiliki Jakmania itu sangat menarik untuk diperebutkan oleh tiga pasangan calon.
Salah satu pasangan calon, Ridwan Kamil, yang merupakan seorang Bobotoh, sampai rela mengenakan seragam Persija Jakarta demi memikat JakMania.
Tapi, usaha itu tak mampu memenangkan Ridwan Kamil-Suswono di Pilkada Jakarta. Dalam hitung cepat, mereka kalah dari Pramono Anung-Rano Karno.
Salah satu lembaga survei, SMRC, melansir data pasangan Pramono-Rano mendapat suara 51,03 persen. Sedangkan Ridwan-Suswono ada di angka 38,80 persen. Artinya, Pramono-Rano bisa menang Pilkada Jakarta satu putaran kalau hasil itu sesuai dengan hasil real count KPUD Jakarta.
Sementara itu, di Semarang. Yoyok Sukawi, CEO PSIS Semarang, maju menjadi calon walikota. Dia berpasangan dengan Joko Santoso. Mereka bersaing dengan Agustina Wilujeng Pramestuti-Iswar Aminuddin.
Menjelang pencoblosan, Yoyok Sukawi malah bermasalah dengan salah seorang suporter PSIS, Kepareng, dengan tuduhan ujaran kebencian. Padahal, Kepareng memberikan kritik karena performa buruk Mahesa Jenar, yang sampai terlempar ke papan bawah klasemen Liga 1. Permasalahan itu sampai dilaporkan ke pihak kepolisian.
Pada prosesnya, perselisihan Yoyok dengan suporter itu menimbulkan gerakan yang berkaitan dengan pencoblosan. Meski memang belum ada kajian lebih detail terhadap pengaruh ‘gesekan’ ini, tapi data-pemilu.page.dev mengungkap Yoyok-Joko kalah. Yoyok-Joko mendapat 42,82% berbanding 57,18 persen suara yang dikeruk Agustina-Iswar.
Mengenai kaitan suporter klub sepakbola dengan hasil Pilkada, pengamat politik Hendri Satrio, menegaskan bahwa perlu adanya penelitian lebih lanjut agar bisa dibuktikan secara ilmiah. Founder Kajian Opini Publik Indonesia KedaiKOPI itu berpendapat, biasanya pendukung sepakbola enggan mencampuradukkan masalah di lapangan hijau dengan politik praktis.
“Jadi begini, ada dua mazhab di sepakbola. Yang pertama jangan campurkan politik dengan sepakbola. Yang kedua, antara politik dan sepakbola ya biasa saja, bisa dicampur bisa tidak,” kata Hendri dalam perbincangan dengan detikSport, Kamis (28/11/2024) sore WIB.
“Tentang pemilu ini, bisa jadi klaim-klaim saja. Karena, tidak ada data yang mengatakan bahwa, misalnya, Persija itu pasti ke Pram, kemudian tidak ke Rido, itu kan klaim saja. Tidak ada yang bisa memastikan bahwa pada saat memilih itu mereka adalah Persija. Dan apakah Jakmania ini adalah orang-orang yang mempunyai tiket atau tidak.”
“Sama kejadiannya dengan PSIS, apakah sebetulnya kalah karena memang tidak dipilih (suporter) PSIS atau memang biasa saja. Karena memang belum ada datanya. Kesetiaan pada sepakbola itu biasanya jarang yang bercampur dengan politik. Walaupun tidak disampaikan, namun rata-rata bola ya bola, selesai bola ya sudah.”
“Apa yang terjadi dengan Ridwan Kamil ini memang berbeda, karena kedekatan sepakbolanya Ridwan Kamil juga kental. Jadi kalau memang nggak kental biasanya tidak kelihatan juga. Tapi, apakah itu betul terjadi atau tidak sulit untuk dibuktikan juga. Hanya memang Persib dan Persija ada sejarahnya. Tidak bersama-sama lantas apakah kemudian sentimen Persija, Jakmania, itu disalurkan ke Kang Emil, benar atau tidaknya atau apakah semua Jakmania tidak memilih Kang Emil sulit sekali dibuktikan. Hanya memang saat sepakbola terjadi, Jakmania tak mungkin mendukung Persib dan Viking tak mungkin mendukung Persija. Yang bisa dijelaskan itu saja.”
“Tapi, klaim-klaim dalam politik itu tidak bisa kita larang juga. Jadi, klaim-klaim itu tetap saja bisa terjadi. Tapi belum pernah kita baca, misalnya pemilihan walikota Liverpool, Liverpudlian dan pendukung Everton terpecah belum ada tuh. Pengalaman pribadi, saya ke Liverpool, naik taksi, sopir taksinya pendukung Everton. Kita tidak diturunin juga di jalan, cuma dia komentar saja karena tahu saya pendukung Liverpool. Dia cuma memberi tahu di kota ini ada dua klub sepakbola besar, Liverpool dan Everton, saya pendukung Everton. Cuma begitu, mungkin karena kami turis.”
“Yang terbukti terjadi itu memang persaingan hanya terjadi di lapangan. Kalau di luar lapangan apakah terjadi, ya hanya sekadar klaim saja. Karena tidak ada yang bisa membuktikan bahwa pendukung sepakbola itu keluar, menular pada keterikatan pada politik,” kata dia menambahkan.
Menurut detikers, apakah kekalahan Ridwan Kamil di Jakarta dan Yoyok Sukawi di Semarang adalah dampak kegagalan merangkul kelompok suporter?
(cas/raw)