Jakarta –
Biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus-menerus naik menunjukkan belum adanya tindakan kongkret yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut. Meskipun secara umum alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia selalu memberikan porsi 20% untuk kepentingan pendidikan. Anggaran pendidikan yang bersifat wajib akan terus naik mengikuti jumlah APBN yang setiap tahun naik.
Meskipun di atas kertas jumlah anggaran pendidikan dapat dikatakan besar, dalam realita masyarakat belum benar-benar merasakannya, khususnya terkait mahalnya biaya pendidikan tinggi. Dua puluh persen dari jumlah APBN hanya sekitar 1.6% yang dialokasikan untuk pendidikan tinggi, ini menunjukkan perhatian yang masih jauh dari cukup.
Mahalnya biaya pendidikan tinggi juga berakibat pada rendahnya lulusan. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan pada 2022 menunjukkan Indonesia menempati peringkat terendah dari anggota negara OECD dalam jumlah rendahnya distribusi pencapaian pendidikan orang dewasa pada perguruan tinggi dengan nilai 13.1%. Di atas Indonesia terdapat Afrika Selatan dengan nilai 13.9%.
Biaya yang mahal ini membuat sebagian universitas menawarkan pinjaman melalui pihak ke tiga dengan skema pinjaman online (pinjol). Pinjol yang identik dengan skema pembiayaan bunga tinggi dan tenggat waktu singkat akan memperberat beban psikologis mahasiswa, terlebih pinjol sering melakukan penagihan pembayaran dengan cara mempermalukan, menyebar data pribadi atau cara-cara lain yang bersifat agresif dan intimidatif. Berbagai permasalahan lain akan timbul, misalnya penyalahgunaan data pribadi hingga dampak jangka panjang pada stabilitas keuangan akibat skema pinjol.
Persoalan lain yaitu belum meratanya kualitas pendidikan tinggi menjadi menjadi pertimbangan. Fasilitas yang belum memadai dan merata di perguruan tinggi membuat mahasiswa sukar mengeksplorasi minat dan bakat mereka. Universitas-universitas yang berada di kota-kota besar cenderung memiliki fasilitas dan tenaga pendidik yang lebih memadai, sedangkan universitas yang berada di daerah akan cenderung tertinggal.
Belum adanya kesinambungan antara program-kebijakan pemerintah dengan orientasi terserapnya hasil pendidikan tinggi berdampak pada tingginya angka pengangguran lulusan perguruan tinggi. Pemerintah melalui berbagai kebijakan terus mendorong terbukanya lapangan pekerjaan, misalnya melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dimana banyak Perusahaan asing (Penanaman Modal Asing (PMA)) yang terdampak perang dagang AS-China, di satu KEK dibutuhkan ribuan tenaga kerja baru.
Namun nyatanya lulusan universitas dalam negeri masih belum mampu terserap secara maksimal. Laporan Badan Pusat Statistik menunjukkan sekitar 452.713 Lulusan S1, S2, dan S3 tidak bekerja. Diantara lulusan yang bekerja 80% diantaranya bekerja tidak sesuai dengan bidangnya dan hanya 20% yang bekerja sesuai dengan program studinya.
Kompleksnya permasalahan yang ada pada pendidikan tinggi Indonesia menjadi tantangan bersama. Kesadaran membangun pendidikan yang terjangkau dan berkualitas menjadi tanggung jawab seluruh pihak, dari hulu ke hilir, pemerintah pusat hingga Program Studi/Jurusan harus menyelaraskan narasi menguatkan kembali kualitas, fasilitas dan output lulusan pendidikan tinggi semaksimal mungkin.
Harapan baru
Presiden Prabowo membawa harapan baru dengan memisahkan Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti) menjadi tiga kementerian baru, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah; Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; serta Kementerian Kebudayaan. Dipisahkannya kementerian tersebut diharapkan dapat lebih fokus untuk menyelesaikan masalah dan tantangan yang bertahun-tahun muncul dan terus terulang.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) yang dinahkodai oleh Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro serta Wakil Menteri Prof. Stella Christie dan Prof. Dr. Fauzan diharapkan mampu memberikan terobosan dan solusi jangka panjang permasalahan mahalnya biaya UKT perguruan tinggi. Kemendiktisaintek dapat membuat kebijakan yang fokus pada penurunan biaya pendidikan melalui kebijakan spesifik untuk menurunkan biaya kuliah, termasuk melalui subsidi, pengaturan UKT yang lebih adil, serta insentif bagi perguruan tinggi untuk menekan biaya operasional.
Transparansi dalam pengelolaan UKT dan anggaran perguruan tinggi menjadi salah satu kunci keberhasilan. Transparansi perlu melibatkan mahasiswa dan pihak terkait dalam perhitungan dan alokasi UKT sehingga mahasiswa memahami perincian biaya yang mereka bayarkan. Transparansi ini dapat membangun kepercayaan masyarakat dan memastikan biaya kuliah digunakan dengan efektif.
Program beasiswa dan bantuan dana yang lebih efektif dapat menjadi alternatif agar mahasiswa terus termotivasi dan dapat diringankan beban UKT-nya. Kemendiktisaintek dapat memperluas dan memperbaiki sistem beasiswa yang dapat mengakomodasi lebih banyak mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi. Selain itu, transparansi dalam alokasi dan penyaluran bantuan dana harus menjadi prioritas untuk memastikan dana tepat sasaran. Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan lebih banyak pihak, baik swasta maupun dengan negara lain seperti kolaborasi pertukaran pendidikan dan magang yang memiliki dampak positif bagi mahasiswa.
Pemanfaatan teknologi dapat menjadi alternatif untuk efisiensi pendidikan. Inovasi teknologi yang difasilitasi oleh kementerian ini bisa menurunkan biaya yang dibutuhkan pendidikan tinggi. Penerapan sistem pembelajaran secara hibrid dapat menjadi opsi selama mahasiswa melakukan riset atau aktivitas yang mendukung prestasi akademik mahasiswa.
Jangan sampai di kemudian hari pemerintah merasa “kelimpungan” dan merasa kehilangan devisa negara dengan banyaknya pemuda Indonesia yang memilih studi di luar negeri karena pendidikan tinggi Indonesia yang mahal dan lulusannya tidak terserap dengan baik seperti kasus pasien yang memilih berobat keluar negeri dibanding di dalam negeri.
Min Hajul Abidin Program Doktor di East China University of Science and Technology, Shanghai
(mmu/mmu)