Ika menjelaskan resistensi antimikroba terbukti meningkatkan risiko kematian. Angka kematian meningkat hingga tiga kali lipat terhadap pasien yang sudah resisten dan terpapar bakteri Acinetobacter baumanniii. Adapun pasien resisten yang terpapar bakteri Klebsiella pneumoniae, angka kematiannya meningkat empat kali lipat jika dibandingkan dengan mereka yang tidak resisten antibiotik.
Di sisi lain, kondisi resisten juga meningkatkan beban biaya kesehatan. Bahkan, menurut Ika, mereka yang resisten menghabiskan waktu lebih lama di rumah sakit sekitar 30 sampai lebih dari 50 persen.
Peredaran bebas dan konsumsi antibiotik tanpa petunjuk dokter menjadi salah satu sebab semakin banyaknya pasien yang resisten. Menurut Ika, berdasarkan sejumlah penelitian pada 2021-2022, di sejumlah daerah, masyarakatnya menganggap antibiotik sebagai obat penurun panas. Oleh karena itu, antibiotik sering dibeli tanpa resep untuk mengobati demam layaknya parasetamol.
Selain itu, pembelian antibiotik di warung-warung kelontong dilakukan dengan sistem eceran. Antibiotik, yang seharusnya diresepkan oleh dokter dengan dosis dan jumlah takaran tertentu, kini dapat dibeli hanya satu atau dua butir. Padahal penggunaan antibiotik di puskesmas, terutama untuk penyakit flu, sangat dibatasi. Rasio peresepan antibiotik tidak boleh lebih dari 10 persen.
“Di Bekasi itu ternyata banyak yang merasa bahwa antibiotik itu buat menurunkan panas. Bahkan (dianggap) bisa meningkatkan antibodi. Nah, repot ya, bahkan yang sakitnya itu pegal linu saja dikasihnya antibiotik. Dia lebih pede kalau minum antibiotik,” ungkapnya.
Selain faktor peredaran bebas antibiotik untuk konsumsi manusia, resistensi makin parah juga dipengaruhi oleh pemakaian antibiotik secara ugal-ugalan di lingkungan ternak, baik ikan maupun unggas.
Dosen Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik itu mencontohkan kasus di Yogyakarta. Pada survei kesehatan Kemenkes 2023, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menempati urutan pertama sebagai wilayah dengan peredaran antibiotik tanpa resep paling sedikit. Namun pasien dengan kondisi resisten di Jogja tetap banyak.
Usut punya usut, pemakaian antibiotik terhadap ternak di peternakan sekitar Jogja tidak terkontrol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh UGM, residu antibiotik banyak ditemukan di sekitar peternakan, baik tanah, air, bahkan produk ternak, seperti daging dan telur ayam. Celakanya, menurut Rita, berdasarkan sejumlah penelitian, residu antibiotik produk ternak tidak hilang bahkan setelah dimasak atau diolah. Residu tersebut turut masuk ke tubuh manusia saat dikonsumsi.
“Di peternakan ini, kebetulan kami ambil sampelnya di sekitar Sleman karena itu kan daerah peternakan ayam gitu ya, ternyata dari sampel, baik tanah, air, daging, itu ya ternyata itu ketemu gitu ya, ada residu antibiotik gitu dan itu sudah kami tes juga itu ternyata banyak yang resisten,” ujarnya.
Ketua Purna Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan 2014-2021 Hari Paraton membenarkan angka resistensi antimikroba di Indonesia terus meningkat. Menurut Hari, mengutip data Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS), angka prevalensi mikroba yang resisten terhadap antimikroba di Indonesia terus meningkat. Angka kelaziman itu pernah menyentuh angka 40 persen dan kini ada di angka 68 persen (bakteri Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae tidak mati dengan antibiotik golongan tinggi). Kenaikan tersebut sejalan dengan konsumsi