Jakarta –
Utang pemerintah selama ini menjadi polemik politik-ekonomi yang sensitif. Ramai menjadi diskursus bahwa utang pemerintah sudah pada tahap tanda bahaya. Benarkah demikian?
Tulisan ini saya maksudkan untuk memberi kontribusi pemikiran tentang kebijakan utang pemerintah dan mencoba menempatkan diri seobjektif mungkin. Tentu saja dari kacamata saya selama ini sebagai praktisi politik di Badan Anggaran DPR.
Di awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewarisi utang per Desember 2014 sebesar Rp 2.608,7 triliun. Selanjutnya, jelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi atau per Agustus 2024, jumlah utang mencapai Rp 8.461, 9 triliun, terjadi kenaikan Rp 5.853,2 triliun.
Jumlah utang naik signifikan. Namun, kita harus hati-hati memaknai peningkatan jumlah utang ini. Banyak variabel yang harus diperhitungkan dalam memaknainya. Oleh sebab itu, mari kita analisa semuanya.
Selama ini diskusi yang berkembang antara Badan Anggaran DPR bersama Menteri Keuangan (Menkeu) menyepakati alur berpikir, penambahan utang baru ditujukan untuk memperbesar ruang fiskal yang dimiliki oleh pemerintah. Dengan ruang fiskal yang besar, pemerintah memiliki keleluasaan untuk membiayai program-programnya, dengan harapan mendorong tingkat kemakmuran rakyat lebih baik.
Dengan demikian pelaksanaan belanja negara menjadi kunci penting, apakah utang berdampak signifikan atau tidak terhadap makin besarnya kue ekonomi yang dicerminkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, kenaikan pendapatan negara, turunnya tingkat kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Korelasi semua hal itulah yang harus kita periksa satu per satu untuk melihat utang masih pada batas aman atau tidak, serta untuk menghasilkan perbaikan kebijakan.
Salah satu ukuran umum yang sering dipakai dalam praktik internasional yakni mengukur tingkat utang dengan besaran Produk Domestik Bruto (PDB). Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara membatasi jumlah utang pemerintah maksimal 60 persen dari PDB.
Pada tahun 2020, kita memang mengalami lonjakan rasio utang terhadap PDB. Namun secara perlahan-lahan sejak 2021 hingga kini rasio utang terhadap PDB terus menurun, dari 40,73% terhadap PDB di 2021 menjadi 39,70% di 2022, dan 39,21% di 2023, serta 38,49% PDB per Agustus 2024. Langkah ini patut kita apresiasi.
Jika dibandingkan negara peers, termasuk dengan sejumlah negara maju, rasio utang terhadap PDB Indonesia memang lebih rendah. Rasio utang Amerika Serikat terhadap PDB mencapai 122 persen, China 83,6 persen, Inggris 97,6 persen, Jepang 255 persen, Malaysia 61,1 persen, Thailand 61,9 persen, dan Filipina 60,1 persen.
Karena mengukur utang yang sehat melibatkan variabel analisa yang komplek, kedua hal di atas tentu saja belum cukup. Kita perlu memeriksa laju pertumbuhan utang dengan pertumbuhan ekonomi.
Harus kita akui, laju pertumbuhan ekonomi dibandingkan utang pemerintah, khususnya pada periode 2014-2024 rata-rata lebih tinggi laju pertumbuhan utang. Pada periode tersebut, laju pertumbuhan ekonomi rerata 5 persen, sementara pertumbuhan utang di rantang 5-27 persen. Lonjakan pertumbuhan utang terjadi di fase pandemi di tahun 2020-2022. Hal ini juga terjadi hampir di semua negara.
Bagaimana jika kita bandingkan dengan laju pendapatan negara dengan utang. Sedikit flashback, di tahun 2014 jumlah utang mencapai 168 persen dari pendapatan negara dan di akhir tahun 2024 kita perkirakan meningkat menjadi 315,8 persen. Artinya pertumbuhan utang pemerintah lebih agresif ketimbang pendapatan negara.
Utang pemerintah yang menjanjikan imbal hasil tinggi juga mengerek peningkatan rasio bunga utang dengan pendapatan negara. Tahun 2014 rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara masih 8,6 persen, sepuluh tahun kemudian, atau akhir 2024 kita perkirakan mencapai 17,9 persen.
Jika ditambahkan antara kewajiban bunga dan pokok dengan pendapatan negara, mengakibatkan Debt Service Ratio (DSR) kita cenderung naik tinggi. Pada tahun 2014 DSR kita di level 23,8 persen.
Sepuluh tahun kemudian atau di akhir 2024 DSR Indonesia kita perkirakan kurang lebih 40 persen. Jika mengacu rekomendasi IMF, DSR Indonesia harusnya di rentang 25-35 persen.
Utang pemerintah sebagai salah satu sumber pembangunan di APBN kita. Pada September 2014, intervensi APBN menghasilkan tingkat kemiskinan 10,96 persen dan di Maret 2024 tingkat kemiskinan berada di level 9,03 persen.
Jika dilihat dari rasio gini, pada September 2014 berada pada posisi 0,414 dan di Maret 2024 di level 0,379. Harus kita akui, effort utang yang besar belum berkontribusi agresif pada penurunan kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Mitigasi
Ada banyak pilihan kebijakan untuk memitigasi risiko utang pemerintah dan mengubahnya menjadi pembiayaan yang sehat, serta berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Mitigasi risiko utang pemerintah dapat dilakukan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto agar tidak menjadi beban fiskal yang mendalam.
Pertama, pemerintah harus memastikan pencapaian tren positif terhadap pendapatan negara, khususnya dari sektor perpajakan dan bagi hasil sumber daya alam. Langkah Direktorat Jenderal Pajak membangun core tax system kita harapkan membuahkan hasil nyata untuk meningkatkan rasio perpajakan. Sebab dengan penerimaan perpajakan yang meningkat karena pembenahan sistem akan membantu menurunkan realisasi penarikan utang baru.
Kedua, belanja negara harus membuahkan produktivitas ekonomi agar dampak kemakmuran ekonomi meningkat, sehingga kue ekonomi lebih besar. Kami di Badan Anggaran DPR selama ini sudah sepemahaman dengan Menteri Keuangan tentang pentingnya meningkatkan kualitas belanja negara. Setiap 1 rupiah yang dibelanjakan melalui belanja negara harus memiliki arti dan dampak nyata bagi peningkatan kemakmuran rakyat, serta membesarkan kue ekonomi nasional.
Harus kita akui, rencana ini belum sepenuhnya bekerja dengan maksimal. Perlu pengendalian efektif atas pelaksanaan dan monitoring belanja kementerian, lembaga pemda, hingga desa.
Pemerintahan baru hendaknya membenahi kembali berbagai proyek atau program masa lalu yang malah menimbulkan beban ekonomi, kecuali program perlindungan sosial yang diniatkan untuk memberikan perlindungan jaminan sosial dasar dan investasi intangible. Konvergensi belanja antar kementerian, lembaga, dan pemda sangat penting untuk menghindarkan double cost. Gotong royong ini diharapkan membuah pencapaian sesuai perencanaan.
Pelaksanaan akuntabilitas belanja negara juga sangat penting. Langkah ini untuk mengurangi kebocoran belanja negara. Termasuk merampingkan organisasi pelaksana, dengan demikian cost untuk kebutuhan kelembagaan bisa diefisiensikan dan memperbesar belanja modal.
Ketiga, pemerintah harus memiliki peta jalan, setidaknya dalam jangkah menengah untuk menurunkan tingkat utang pemerintah. Peta jalan ini akan menjadi landasan penting, sebab akan berkonsekuensi terhadap besaran postur pendapatan dan belanja negara. Hal ini juga akan memudahkan DPR dan pemerintah sendiri untuk menentukan garis batas kedisiplinan fiskal dalam lima tahun mendatang.
Keempat, kebijakan utang harus memperbesar jangkauan kreditur dalam negeri dan mengurangi denominasi valas dalam komposisi utang pemerintah. Kecuali jika cadangan devisa negara besar karena dampak pengaturan kebijakan devisa.
Langkah ini untuk meminimalisir gejolak kurs, terlebih dalam situasi ekonomi dunia yang kurang menggembirakan. Apalagi perang dan ketegangan geopolitik telah menjadi sumber krisis pasca pandemi COVID-19.
Terakhir, mendorong pembiayaan kreatif untuk mengusahakan biaya dana yang lebih murah. Langkah ini untuk mengurangi beban bunga yang tinggi. Apalagi tiga tahun pertama pemerintahan Pak Prabowo akan menghadapi jatuh tempo pembayaran bunga dan pokok utang yang sangat besar.
Said Abdullah, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Sumber Daya
(akd/akd)