Jakarta –
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (RUU Kementerian Negara) menjadi UU melalui rapat paripurna ke-7 yang digelar pada Kamis (19/9). Salah satu poin perubahan UU tersebut adalah penghapusan batas jumlah maksimum institusi kementerian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15. Disebutkan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi bahwa jumlah kementerian ke depan dapat ditetapkan secara fleksibel oleh presiden sesuai dengan kebutuhannya.
Dihapuskannya batas jumlah maksimum institusi kementerian melalui perubahan UU a quo memberi konsekuensi berupa besarnya kewenangan Prabowo Subianto selaku presiden terpilih untuk menentukan jumlah institusi kementerian pada kabinet pemerintahan 2024-2029. Pada saat yang bersamaan, dihapuskannya batas jumlah maksimum institusi kementerian tersebut, Prabowo memiliki ruang yang sangat besar untuk mengakomodir kepentingan parpol pengusung pada kontestasi Pilpres 2024. Artinya, masing-masing parpol pengusung yang terintegrasi ke dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) akan mendapatkan jatah jabatan menteri.
Politik Hukum
Pilihan untuk mengubah hingga mengesahkan UU Kementerian Negara tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam doktrin ilmu hukum dikenal dengan istilah politik hukum. Mengutip uraian definitif dari Mahfud MD (2004), politik hukum memiliki substansi makna sebagai legal policy atau hukum yang akan diberlakukan dengan cara membuat hukum baru maupun dengan mengganti hukum yang lama dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Bisa saja, sebuah UU yang dihasilkan dari pilihan politik DPR ditujukan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang termaktub dalam UUD NRI 1945 atau sebaliknya, sebuah UU justru ditujukan untuk mencapai tujuan elite politik semata mengingat UU tidak lain merupakan produk hukum yang dihasilkan dari resultante politik DPR.
Biasanya, sebuah UU yang dihasilkan oleh konfigurasi politik DPR dan materi muatannya berorientasi pada tujuan negara sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945 dan mengedepankan kepentingan rakyat secara kolektif dikenal dengan sebuah produk hukum yang populis atau responsif. Sebaliknya, sebuah UU yang dihasilkan dari konfigurasi politik DPR dan materi muatannya hanya berorientasi pada kepentingan-kepentingan elite politik semata dikenal dengan sebuah produk hukum yang ortodoks atau elitis. Karena itu, politik hukum pembentukan UU selalu bermuara pada sekurang-kurangnya empat pertanyaan.
Pertama, tujuan apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada? Kedua, cara apa dan yang manakah yang paling baik dipakai untuk mencapai tujuan tersebut? Ketiga, kapan waktunya hukum itu perlu diubah, dan melalui cara yang bagaimana perubahan itu dilakukan? Keempat, dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan yang bisa memutuskan kita dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut? (Sadjipto Rahardjo, 2000).
Ruang lingkup pembahasan politik hukum itu sendiri setidaknya dapat dipetakan ke dalam tiga hal, yaitu cetak biru dari kebijakan dan peraturan yang dicita-citakan; tarik-menarik politik pada proses di dalam ruangan pembahasan dan persetujuan legislasi; dan implementasi yang diharapkan dan dapat terkawal oleh kebijakan itu (Zainal Arifin Mochtar. 2019). Pada konteks perubahan UU Kementerian Negara ini, menarik untuk dikaji tentang apa sebenarnya cetak biru atau cita hukum yang hendak dicapai dari perubahan UU Kementerian Negara tersebut.
Cetak Biru Perubahan
Jika dibenturkan pada sebuah fakta bahwa partisipasi Prabowo pada kontestasi Pilpres 2024 yang disokong oleh koalisi kepartaian super besar, saya tidak meyakini alasan perubahan pengaturan batas maksimum institusi kementerian ditujukan untuk mempermudah kinerja pemerintah. Sebaliknya, saya meyakini bahwa terdapat dua alasan yang melatarbelakangi penghapusan batas maksimum institusi kementerian ini.
Pertama, mengakomodasi kepentingan parpol pengusung. Dikabarkan bahwa sejumlah parpol pendukung sudah meminta jatah kursi menteri sebelum Prabowo sendiri ditetapkan oleh KPU sebagai presiden terpilih 2024-2029 melalui kontestasi Pilpres 2024. Hal ini menandakan bahwa salah satu alasan penghapusan batas maksimum institusi kementerian melalui perubahan UU Kementerian Negara adalah untuk mengakomodasi kepentingan transaksional parpol pengusung pada kontestasi Pilpres 2024 yang salah satunya adalah pendapatan jatah kursi menteri tatkala calon presiden yang diusungnya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ditambah lagi adanya ungkapan politisi Gerindra, Dedi Mulyadi, yang menyebutkan bahwa apabila jabatan menteri hanya terbatas 34 dan terdapat parpol pengusung yang tidak mendapatkan jatah jabatan menteri, akan terjadi keberisikan akibat tidak diperolehnya jatah kursi tersebut.
Kedua, pelembagaan oligarki. Selain mendapatkan dukungan super besar dari parpol, Prabowo juga mendapatkan dukungan yang sangat besar dari sejumlah oligarki pada kontestasi Pilpres 2024. Bahkan, jika dibandingkan dengan dua calon presiden lain, Prabowo merupakan calon presiden dengan dukungan oligarki paling besar dan paling banyak. Dalam batas penalaran awam, tentu ada alasan transaksional atas pemberian dukungan tersebut salah satunya adalah pendapatan jatah kursi menteri, baik demi kelancaran bisnisnya maupun perluasan jejaring dirinya.
Atas dasar hal tersebut, saya meyakini bahwa cetak biru perubahan UU Kementerian Negara bukan diorientasikan untuk mempermudah kinerja pemerintah. Sebaliknya, cetak biru perubahan UU Kementerian Negara ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan parpol pengusung pada Pilpres 2024 silam serta pelembagaan oligarki pengusung Prabowo. Ini menunjukkan bahwa agenda perubahan UU Kementerian Negara tak lain telah mewujudkan sebuah produk hukum yang ortodoks atau elitis, yaitu produk hukum yang materi muatannya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, dan menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara.
Ahmad Sulthon Zainawi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Ketua Umum Forum Kajian dan Penulisan Hukum (2022-2023), staf peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (2022-2024)
(mmu/mmu)