Konferensi Internasional terkait Pendaftaran Hak atas Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Indonesia dan Negara-negara ASEAN yang pertama kalinya resmi digelar. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut konferensi ini menjadi upaya bersama dalam membina kerja sama, bertukar praktik terbaik, dan membangun hubungan yang lebih kuat khususnya dalam komunitas ASEAN untuk mewujudkan keadilan dan perlindungan masyarakat adat.
“Bagi masyarakat adat kita, tanah merupakan perwujudan hakikat kehidupan itu sendiri,” kata AHY dalam keterangannya, Jumat (6/9/2024).
Hal ini disampaikannya saat membuka International Meeting on Best Practices of Ulayat Land Registration in Indonesia and ASEAN Countries yang berlangsung di The Trans Luxury Hotel, Bandung, Kamis (5/9/2024).
AHY mengatakan Hubungan Masyarakat Hukum Adat dengan tanah ulayat tidak hanya bersifat fisik tetapi juga spiritual, kultural, dan sosial yang melindungi dan memelihara mereka. Namun dalam banyak kasus, masyarakat adat telah kehilangan tanahnya akibat pengalihan hak secara ilegal, pelanggaran atau eksploitasi.
“Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ATR/BPN telah mengambil tindakan tegas dengan membuat regulasi yang kuat untuk mengelola tanah adat,” ungkapnya.
Terkait perkembangan kebijakan, AHY menerangkan,pada tahun 2021 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 yang memberikan Hak Pengelolaan untuk tanah ulayat. Pada tahun 2024, Kementerian ATR/BPN juga telah menerbitkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 14 Nomor 2024 untuk menjamin pelaksanaan efektif administrasi pertanahan dan pendaftaran hak atas tanah adat bagi masyarakat hukum adat.
Dalam Konferensi Internasional ini, AHY juga menyerahkan 15 Sertipikat Hak Pengelolaan. Sertipikat yang telah tercetak dalam bentuk Sertipikat Tanah Elektronik ini diserahkan langsung kepada sembilan perwakilan penerima Masyarakat Hukum Adat yang berasal dari sejumlah provinsi di Indonesia.
“Hingga saat ini, kami telah menerbitkan 24 Sertipikat Hak Pengelolaan untuk tanah ulayat, yang mencakup hampir 850.000 hektare tanah di Sumatra Barat, Papua, Jawa Barat, Bali, dan Jambi. Tahun ini, kami telah menetapkan target ambisius untuk menyertipikasi tambahan 10.000 hektare di empat provinsi, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Selatan,” jelas AHY.
AHY menyebut capaian ini merupakan hasil dari kolaborasi antara lembaga pemerintah, masyarakat setempat, lembaga akademik, dan mitra internasional. AHY, Pihaknya juga telah bekerja erat dengan universitas seperti Universitas Andalas dan Universitas Hasanuddin untuk memastikan upaya tersebut didasarkan pada penelitian, berlandaskan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip adat, serta responsif terhadap kebutuhan masyarakat setempat.
“Dalam jangka panjang, kami akan memastikan bahwa setiap tanah ulayat masyarakat adat kami disertipikasi untuk memberikan kepastian hukum, serta untuk melindungi tanah dan orang-orang yang berhak menerimanya,” pungkas AHY.
Diketahui, Konferensi Internasional turut dihadiri ratusan peserta yang berasal dari berbagai negara. Beberapa di antaranya, perwakilan World Bank, World Resources Institute, perwakilan Lembaga Pertanahan Luar Negeri se-Asia Tenggara: perwakilan National Committee of Indigenous People (NCIP) Filipina, perwakilan Department of Agriculture Land Management (DALAM) Ministry of Agriculture and Forestry of Laos, perwakilan Office of the National Land Policy Board Thailand, perwakilan Department of Land Thailand; perwakilan Masyarakat Hukum Adat dari 9 provinsi di Indonesia; peserta dari Kementerian ATR/BPN; perwakilan dari kementerian terkait; para akademisi, organisasi mahasiswa, serta perwakilan beberapa universitas yang aktif dalam meneliti dan memperjuangkan masyarakat hukum adat di Indonesia.