Pada 21-24 Agustus lalu saya menghadiri ‘2024 China – ASEAN Education Cooperation Week’ di Guiyang, China. Saya hadir bersama delegasi beberapa perguruan tinggi di Indonesia dan kepala sekolah atas undangan China’s University and College Admission System (CUCAS). Hadir pula pada meeting tersebut para penentu kebijakan pendidikan vokasi China, Deputy Director SEAMO SEAMOLEC MOE, pimpinan universitas di China, Indonesia, Malaysia, Kamboja, dan Angola. Di sela-sela pertemuan besar digelar pula side meeting yang membahas ‘2024 China-Indonesia Education Exchange Activities’, dengan tuan rumah China International Education Institute (CIEI).
Inti acara tersebut adalah pelaporan dan evaluasi pengembangan pendidikan vokasi di China dan mitra-mitranya. Meski Sekolah Vokasi IPB belum menjadi mitra China, saya diminta menyampaikan status dan perkembangan pendidikan vokasi di IPB. Kalau boleh ge-er, atau berharap, barangkali Sekolah Vokasi IPB diundang karena dipandang potensial menjadi mitranya dalam pengembangan pendidikan vokasi.
Selain sharing dan reporting pengembangan pendidikan vokasi, di acara tersebut juga ada kunjungan lapangan ke Guizhou Water Resources and Hydropower Vocational and Technical College untuk melihat dari dekat bagaimana pengembangan dan pelaksanaan pendidikan vokasi di China.
Saya sungguh bersyukur atas undangan tersebut karena selain mendapatkan ilmu dan pengalaman, juga kenalan. Yang terakhir ini sangat penting untuk networking dalam pengembangan pendidikan vokasi ke depannya. Meski saya berusaha untuk tidak mudah kagum, namun rasa itu tidak bisa disembunyikan. Hati dan pikiran kompak mengatakan, China tidak main-main dengan pengembangan pendidikan vokasinya. Baik yang di dalam negeri, maupun yang di negara-negara mitranya, seperti Kamboja di ASEAN dan Angola di Afrika.
Sungguh pendidikan vokasi itu dikembangkan dengan perencanaan yang matang, komprehensif, dan detail sesuai dengan perkembangan dunia industri dan bisnis. Selain untuk menghasilkan talenta unggul yang sesuai dengan kebutuhan, pendidikan vokasi juga dikembangkan untuk menghasilkan teknologi tepat guna dan tepat sasaran.
Tidak ada talenta dan inovasi yang sia-sia. Semua ada manfaatnya dan masing-masing berkontribusi bagi kepentingan ekonomi China secara umum. Baik di dalam maupun di luar negeri. China mengembangkan pendidikan vokasi di Kamboja dan Angola karena di kedua negara tersebut China sedang mengembangkan investasi besar-besaran. Dikembangkannya pendidikan vokasi tersebut tentunya untuk memenuhi kebutuhan talenta dan teknologi yang jika didatangkan dari China akan sangat mahal.
Pengembangan Pendidikan vokasi
Direktur Pendidikan Vokasi China menyampaikan bahwa kesungguhan China dalam pengembangan pendidikan vokasi sama dengan pengembangan pendidikan akademik. Hanya beda penekanan. Pengembangan pendidikan akademik bertujuan untuk meraih reputasi akademik setinggi-tinginya. Ia berusaha memenuhi semua indikator yang mengarah pada pencapaian reputasi akademik dengan segenap konsekuensinya.
Ia memiliki indikator capaian reputasi sendiri dan juga indikator dari berbagai kriteria universitas kelas dunia. Dengan kata lain, ada indikator internal dan eksternal. Keduanya disinkronkan untuk mencapai reputasi akademik yang baik. Hasilnya bisa kita lihat. Beberapa universitas di China saat ini sudah bertengger di kelompok papan atas universitas kelas dunia. Seperti Peking University, Tsinghua University, dan Fudan University yang masing-masing bertengger di peringkat 14, 20, dan 39 dunia versi QS WUR 2025.
Dalam pengembangan pendidikan vokasi, pemerintah China menetapkan beberapa standar yang perlu dipenuhi. Tiap tahun, lembaga pendidikan tersebut wajib melaporkan capaiannya, baik pada annual meeting maupun dalam bentuk laporan lainnya. Dari pelaporan dan diskusi yang berkembang pada annual meeting yang saya ikuti, minimal ada lima standar pendidikan vokasi yang perlu dipenuhi. Kelima standar tersebut tentunya ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan antara pihak industri, bisnis, pemerintah dan perguruan tinggi.
Pertama, professional vocational teaching standard. Standar pembelajaran vokasi secara professional menjadi perhatian utama pendidikan volkasi di China. Hal ini penting sebab pembelajaran pendidikan vokasi menekankan para proses pengalaman, baik melalui praktik di laboratorium, workshop, studio, bengkel, laboratorium lapangan, maupun di industri dan badan-badan usaha lain, milik pemerintah maupun swasta.
Kedua, professional vocational curriculum textbook standard. Selain teaching standard, pendidikan vokasi juga perlu memiliki standar kurikulum. Standarisasi kurikulum tidak dimaknai sebagai penyamaan kurikulum sebab setiap program studi memiliki kekhasan dan sasaran kompetensi yang berbeda, melainkan substansi kurikulumnya perlu disamakan. Saya melihat, belum ada standar kurikulum pendidikan vokasi di Indonesia. Barangkali, project-based learning (PBL) merupakan cikal bakal standarisasi kurikulum pendidikan vokasi.
Ketiga, professional vocational condition of equipment standard. Pendidikan vokasi juga perlu memiliki standar peralatan penunjang pendidikan dan proses pembelajaran. Tentunya, standar ini disesuaikan dengan program studi masing-masing. Namun demikian, sudah semestinya ada standar umum seperti keberadaan teaching factory (tefa), bengkel, workshop, studi, dan laboratorium. Pastinya sarana penunjang pembelajaran tersebut memiliki standar sehingga tidak setiap lembaga pendidikan vokasi memaknai dan menerjemahkannya secara berbeda.
Keempat, professional evaluation and sertification standard. Pendidikan vokasi juga mesti memiliki standar evaluasi capaian kompetensi dan sertifikasi. Hal ini untuk memastikan agar proses pembelajaran bisa menghasilkan kompetensi sesuai yang diharapkan. Dengan demikian, ada standar learning outcome dan standar evaluasinya.
Kelima, competency standard for professional vocational teachers. Bila standar pertama adalah standarisasi proses pembelajaran, yang kelima adalah standarisasi dosennya. Artinya, dosen lembaga pendidikan vokasi tidak cukup dengan ijazah magister maupun doktor, apalagi bila magister dan doktornya bukan vokasional. Juga tidak cukup dengan sertifikasi dosen, tapi mesti memiliki sertifikasi sebagai pendidik vokasi. Dan, sertifikasi sebagai dosen vokasional ini yang belum kami temukan keberadaannya di Indonesia. Meski, mungkin secara khusus, ada lembaga pendidikan vokasi yang sudah mensyaratkan dosennya memiliki standar kompetensi dan sertifikasi sebagai vokasi.
Menghentikan Teriakan Slogan
Itulah lima standar minimal pendidikan vokasi oleh-oleh dari China. Mereka sudah menerapkan dan menjalankannya. Maka, hasilnya pun sangat luar biasa. Selain dihasilkan talenta unggul, juga inovasi teknologi tepat guna –yang keduanya sudah terbukti dapat menyokong pertumbuhan ekonomi dan penguatan perekonomian negara. Mereka sudah sangat pantas meneriakkan slogan ‘vokasi kuat dan menguatkan perekonomian negara’. Meski, pada pembukaan annual meeting kemarin tidak terdengar ada teriakkan semacam itu.
Bagaimana dengan pengembangan pendidikan vokasi di Indonesia ke depannya? Inilah pekerjaan rumah presiden terpilih Prabowo Subianto. Kami harap Pak Prabowo memiliki perhatian besar terhadap pengembangan pendidikan vokasi, dan tidak salah memilih menteri pendidikannya agar bisa membuat kebijakan pengembangan pendidikan vokasi yang tepat. Sehingga saatnya nanti kita bisa menghentikan teriakan slogan ‘pendidikan vokasi kuat dan menguatkan Indonesia’ sambil mengepalkan tangan, dan menggantikannya dengan hasil karya nyata yang terukur dan terlihat.